Tanah Rantau dan Kampung Halaman, Kuliah dan SMA
Selama
hampir 9 bulan tinggal di tanah perantauan, aku benar-benar merasa banyak
sekali perbedaan antara masa SMA dengan kuliah dan suasana kota Jogja dengan
halaman rumahku. Suka duka yang sering kualami.
Pertama, dari segi pendidikan. Dari sisi
akademik yang tentu saja sangat berbeda. Saat di SMA dulu, kita diwajibkan
untuk mengenakan seragam sekolah, harus rapi dan tidak boleh berambut gondrong—bagi
yang laki-laki. Selain itu jam pelajaran pun berjalan secara teratur dan
ditentukan oleh pihak sekolah, seperti hari Senin-Kamis dan hari Sabtu
pelajaran dimulai pukul 07.00 dan berakhir pada pukul 13.30, sementara hari
Jumat berakhir pada pukul 11.00. Sedangkan di masa kuliah ini, kita tidak perlu
memakai seragam sekolah, bebas mengenakan apapun asalkan rapi, sopan, tidak
boleh memakai kaos oblong, dan harus bersepatu, minimal flat shoes. Jam kuliah pun bebas, tidak melulu kuliah pagi, kadang
pukul 07.30, 10.30, 13.30, atau 14.30. Walaupun terkesan santai karena
banyaknya jam kosong yang ada dibanding jam kuliah, tetap saja aku merasa 24
jam itu gak cukup, butuh waktu yang
banyak buat istirahat, leyeh-leyeh di
kosan. Karena walaupun satu hari hanya ada 1-2 mata kuliah, tetapi setelah
kuliah selesai banyak kegiatan yang kebanyakan mahasiswa lalui, seperti
mengerjakan tugas seabreg—yang berkutat
pada presentasi, makalah, presentasi, dan presentasi lagi—yang setiap minggu
selalu ada, datang ke rapat ini, rapat itu, ikut UKM ini, ikut UKM itu.
Dari
sisi presensi kehadiran kuliah pun seakan-akan seperti “dilonggarkan untuk
membolos”. Bagaimana tidak, minimal 75% kami harus kuliah. Itu artinya, kita punya
25% buat tidak masuk kuliah. Kalau dikalkulasi, misalnya saja dari awal
semester baru sampai UTS ada 14 kali pertemuan, kalau kita diharuskan untuk
hadir minimal 75% agar dapat mengikuti UTS, paling tidak kita harus 10 kali
hadir kuliah, dan “diperbolehkan” 4 kali tidak menghadiri kuliah. Sedangkan jika
dihitung dari awal semester baru sampai UAS, kita punya 7 kali kesempatan untuk
tidak menghadiri kuliah. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, kuliah itu enak ya,
banyak sekali kesempatan buat bolos. Tapi menurutku buat apa jauh-jauh kuliah di Jogja kalau ujung-ujungnya
hanya bolos, titip absen, dan menghamburkan uang kiriman orang tua. Jujur saja,
aku sudah dua kali bolos mata kuliah Metodologi Penelitian, dan aku merasa
berdosa. Kadang aku juga merasa berdosa kalau di kelas aku hanya menjadi “pendengar
yang baik” dan tidak menjadi mahasiswa yang aktif seperti teman-temanku yang
lain, yang sering bertanya dan memberi feedback.
Tapi priwe maning lah ya, bingung
juga arep takon karo ngomong apa. Ya,
sing penting kuliah lah daripada mbolos.
Dari
sisi lingkungan sosial pun, terasa sekali perbedaannya. Teman-teman
sefakultasku banyak yang membuatku minder, terutama dari sisi akademik. Terkadang
aku merasa sreg dengan orang-orang di
“rumah kita” ini, terkadang juga aku merasa gak
sreg, atau mungkin memang dari diriku sendiri yang membuat lingkunganku
menjadi tidak nyaman.
Kedua dari segi suasana Jogja. Duh,
siapa sih yang gak jatuh hati begitu menginjakkan kaki di kota berhati nyaman ini.
Siapa pula yang tidak rindu ketika meninggalkan kota ini. Lantas buru-buru
kembali ke Jogja untuk melepas rindu. Aku juga tidak tahu pasti apa yang
membuatku jatuh hati pada kota berhati nyaman ini. Apakah karena seseorang yang
telah membuatku kagum hingga memunculkan rasa suka? Umm, bisa jadi. Atau karena
suasana kota Jogja itu sendiri? Itu juga bisa. Namun, yang jelas aku sangat
menyukai kota ini. Aku suka tata kota Jogja, aku suka toko-toko buku yang ada
di Jogja, aku suka Malioboro, dan aku suka kamu. Ah, ya, kadang
aku merasa kalau Jogja itu “kok sempit ya” saat melewati suatu jalan yang jika
disusuri lebih jauh ternyata menembus jalan yang sering kulewati.
Aku
sungguh merasa kalau di kota ini banyak acara keren entah dari sisi religinya maupun dari sisi hiburannya,
seperti kajian di beberapa masjid yang ada di lingkungan UGM, Islamic Book
Fair, dan lain-lain. Apalagi dari UGM nya sendiri yang sering mengadakan acara
hiburan yang keren, seperti seminar
yang mengundang pembicara yang terkenal, Stand Up Nite, Metrotv on Campus, A Day
with Tulus, dan lain-lain. Dari masing-masing fakultas pun tidak mau kalah
untuk mengadakan acara yang keren,
seperti teater; rangkaian acara ulang tahun FEB
yang (waktu itu) mengundang Ten 2
Five dan seminar tentang gratifikasi yang mengundang Ge Pamungkas dan salah
satu anggota KPK; Economic Jazz yang mengundang musisi jazz kawakan—baik dari
dalam maupun luar negeri; Bedah Buku Tere Liye (24 Mei 2014); dan Dental Project yang mengundang Maliq &
D’Essentials dan Tulus (6 Juni 2014). Sayang sekali acara Dental Projet
bebarengan dengan acaranya UKJGS L
Aku
jadi teringat setahun yang lalu saat pertama kali tiba di Jogja untuk mengikuti
try out setelah sekian tahun tidak pernah ke Jogja. Sesampainya di Jogja, aku
diajak mengelilingi kota Jogja, menikmati keheningan malam, menikmati suasana
Jogja yang lengang. Dan setelah try out selesai aku kembali diajak mengelilingi
kota Jogja. Saat itu, aku begitu menyukai suasana di sepanjang jalan Teknik
Selatan/Utara dan jembatan Teknik. Kini, setelah berkali-kali melewati jalan
itu, rasanya sudah istimewa lagi. Tapi ada beberapa hal yang tidak kusukai dari
kota Jogja, yaitu panas dan macet. Tidak seperti kampung halamanku yang asri,
dan rentan akan kemacetan. Ya, seindah-indahnya tanah perantauan, masih indah
kampung halaman.
Ketiga dari sisi keuangan. Kalau di
masa SMA hanya bisa mendapatkan uang saku per hari dan paling mentok dikasih Rp 20.000, di masa kuliah
ini aku baru merasakan memegang uang beratus-ratus ribu rupiah untuk jangka
waktu satu bulan. Namun, aku harus berhati-hati dalam menggunakan uang yang
dikirim orang tua. Sebagai mantan calon anak FEB, setiap hari aku mencatat
segala pengeluaran dan pemasukkan yang kulakukan. Walaupun tidak 100% menekan
pengeluaran agar sedikit, setidaknya aku bisa memantau jumlah pengeluaran yang
kulakukan setiap bulannya.
Keempat dari sisi kebebasan. Duh, hanya
di sini aku bisa keluar rumah setelah salat maghrib, kalau di rumah mana boleh
seperti itu. Ibuku pasti sudah mengomel kalau aku pergi malam-malam, sendirian
pula.
Terkadang
aku masih tidak percaya aku bisa kuliah di sini, di UGM, universitas yang kuimpikan.
Sampai sekarang pun aku masih tidak percaya. Ini seperti mimpi.
Terkadang
aku mengutuki diri, menyalahkan diri sendiri, kenapa memutuskan untuk kuliah di
sini. Aku merasa bersalah karena semakin merepotkan kedua orang tua. Tiap bulannya
mereka harus mengirim uang yang tidak sedikit, untuk menghidupi anak sulungnya
ini. Walaupun aku mendapat beasiswa Bidikmisi, rasa-rasanya itu tidak cukup
untuk mengurangi beban mereka. Dan perasaan bersalah ini semakin menjadi-jadi
saat semua pengorbanan yang dilakukan kedua orang tuaku kubayar dengan tingkah
lakuku yang malas belajar, hanya berdiam diri di kosan, dan membeli sesuatu
yang sebenarnya tidak kubutuhkan. Dan saat aku mendapat nilai jelek, aku
berpikir untuk apa aku merantau ke Jogja, berkuliah di UGM, kalau hanya untuk
mengecewakan mereka.
No comments: