Tentang Ramadhan
Sering kubertanya-tanya, pertanyaan yang hanya bisa mengendap di otak dan sampai sekarang belum menemukan jawabannya.
Mengapa
hanya pada awal-awal bulan Ramadhan sebuah masjid atau mushola
dipenuhi oleh para jamaah. Hanya awal-awal bulan Ramadhan lah mereka
antusias memasuki masjid untuk menunaikan salat Isya dan salat Tarawih
berjamaah.
Hari pertama begitu sangat ramai. Kendaraan
berlalu-lalang, berlomba-lomba memarkirkan kendaraannya di pelataran
pintu masuk masjid. Masyarakat pun banyak yang berbondong-bondong ke
masjid. Hari kedua masih sangat ramai. Hari ketiga, keempat, dan kelima
tidak jauh beda, walau tidak seramai hari pertama. Hingga sepuluh hari
kedua jamaah berkurang banyak, mungkin hanya separuh lebih sedikit.
Terlebih lagi saat-saat seperti ini, di sepuluh hari terakhir,
menjelang hari raya. Hanya beberapa saf yang memenuhi masjid atau
mushola. Masing-masing untuk ikhwan dan akhwat mungkin hanya enam, lima, empat, tiga, dua, bahkan satu saf.
Mengapa itu bisa terjadi? Atau mungkin tempat salat Tarawih mereka telah berpindah ke supermarket,
toko baju, warung makan, taman kota, atau tempat nongkrong? Menjelang
hari raya seperti ini, undangan buka bersama semakin banyak, dompet pun
semakin menipis, hanya menyisakan selembar uang. Itu pun bukan uang
bergambar bapak proklamator Indonesia.
Setiap tahunnya,
aku tidak pernah melewatkan bolos salat Tarawih berjamaah. Semakin
banyak undangan buka bersama, semakin banyak kesempatan untuk tidak
salat Tarawih berjamaah. Sebenarnya bisa sih salat Tarawih
sendirian di rumah. Tapi agak tidak mungkin sepulangnya dari buka
bersama, kita langsung menunaikan salat Tarawih. Paling-paling kita
hanya bisa menunaikan salat Isya karena kita pulang kemalaman. Itu mungkin aku.
Sebenarnya
aku senang saat berkumpul dengan teman-teman yang sekarang jarang
bertemu. Bercerita tentang berbagai hal. Berbuka puasa bersama. Namun,
yang disayangkan adalah tidak pernah salat Tarawih bersama. Setelah buka
puasa bersama pasti langsung pergi ke suatu tempat. Hanya untuk
mengobrol atau sekadar melepas rindu. Ingin kumenolak. Tapi hati ini
selalu mengiyakan. Karena aku merasa nyaman dengan mereka. Kalau aku
tidak merasa nyaman, mungkin aku berani menolak ajakan itu.
Dan,
yang kusayangkan lagi dengan adanya buka puasa bersama adalah semakin
menipisnya dompetku. Duh, kalau lagi di tanah rantau itu, uang 25 ribu
itu bisa untuk tujuh hari. Maaf, aku memang perhitungan. Ya, kalau lagi
ada uang lebih sih mungkin tidak masalah. Tapi ya, rejeki orang memang beda-beda.
Tiba-tiba
teringat pelajaran Statistika. Mungkin kalau dibuat mini penelitian
tentang korelasi antara banyaknya undangan buka puasa bersama dengan
uang saku dan peluang untuk salat Tarawih, mungkin akan terjadi korelasi
negatif. Semakin banyak undangan buka puasa bersama, uang saku semakin
semakin berkurang, dan peluang untuk salat Tarawih semakin berkurang.
Semua
orang tidak ada yang sempurna, aku pun juga iya. Namun, apa salahnya
untuk memperbaiki diri, memperbaiki kualitas dan kuantitas ibadah kita.
Tulisan
ini bukan bermaksud untuk menyinggung siapapun, hanya sekadar
mengingatkan. Sebagai pengingat juga untukku. Aku hanya merasa sangat
disayangkan kalau bulan Ramadhan ini tidak jauh berbeda dari bulan-bulan
sebelumnya. Hanya berbeda antara makan+minum dengan tidak makan+minum.
Kualitas dan kuantitas ibadah kita juga tidak meningkat.
Maaf, jika ada yang tersinggung. Sungguh bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya menyampaikan apa yang mengusik pikiranku.
Sungguh
tidak ada manusia yang sempurna. Namun, apakah harus menunggu sempurna
untuk mengingatkan orang lain dan tentunya diri sendiri. Semoga
menjelang hari raya kualitas dan kuantitas ibadah kita semakin
meningkat. Masih ada kesempatan untuk meningkatkannya.
Dan
semoga bulan Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi
juga menahan hawa nafsu, emosi, dan meningkatkan ibadah.
No comments: