Pentas Empat Hari Part 1
Klaten-Yogyakarta, 17 Agustus
2014
Entah
kenapa aku begitu antusias setiap kali mendengar nama daerah tempat tinggalmu
itu. Seperti pagi ini, sepagi ini aku begitu antusias pergi ke Gelanggang.
Berangkat bersama teman-teman UKJGS menuju tempat pementasan. Walaupun aku
hanya sebagai penonton, tapi rasanya aku tidak sabar menanti hari ini tiba.
Mungkin karena nama daerah tempat tinggalmu itu. Ah, nama daerah tempat
tinggalmu itu seperti magnet bagiku. Menarikku untuk selalu berkunjung ke sana
walau aku tidak tahu rumahmu berada tepat di mana. Ya, aku hanya berandai-andai
siapa tahu aku tidak sengaja bertemu denganmu. Dan mata kita saling bertemu,
lantas senyuman itu kembali merekah dari bibirmu. Senyuman yang tulus. Ah, itu
hanya pengandaianku jika bertemu denganmu.
Nyatanya,
rombongan kami hanya melewati nama daerah tempat tinggalmu itu. Karena tempat
pementasan hari ini bukan di daerah tempat tinggalmu, melainkan di Klaten.
Belum apa-apa aku sudah menelan kekecewaan. Pupus sudah harapan untuk bertemu
denganmu—di daerah tempat tinggalmu. Namun, rasa kecewa itu seakan terobati
dengan panorama yang terpampang di bagian utara. Langit yang cerah membuat
Gunung Merapi terlihat begitu jelas. Begitu indah, awan-awan putih yang berarak
itu seakan mengalungi Merapi. Secara fisik, jika dibandingkan dengan Gunung
Slamet, Merapi ini seakan tidak ada apa-apanya. Gunung Slamet terlihat begitu
gagah, megah, dan mulus. Sementara Gunung Merapi terlihat lebih kecil, sedikit
ada retakan di salah satu sisinya.
Setibanya
di tempat pementasan, baru kami yang datang. Penampil yang lain baru datang
beberapa saat kemudian, menjelang jam setengah sepuluh. Menjelang detik-detik
Proklamasi, sekitar pukul 09.50 sang empunya hajatan mempersilakan kami—anggota
grup karawitan yang bersedia—untuk naik ke atas panggung. Tidak kusangka banyak
anggota dari masing-masing grup karawitan yang bersedia naik ke atas panggung
dan menempati alat musik yang ingin dimainkan. Malah beberapa alat musik
seperti boning dimainkan oleh banyak orang. Aku yang melihatnya saja sudah
merasa sesak, apalagi mereka. Pukul 10.00 tepat, gamelan mulai terdengar
gaungnya. Memainkan sembarang nada. Memecah suasana yang sedari tadi tampak
sepi.
Penampilan
pertama datang dari grup Gasebu anak-anak. Mereka memainkan empat buah lancaran
dengan sangat ciamik. Tanpa melihat notasi lagunya. Pun tidak terlihat wajah
yang tegang, yang ada hanyalah wajah keriangan saat memainkan gamelan. Saking
asiknya sampai-sampai blangkon yang dipakai Bagaskara, sang pengendang berubah
arah 180 derajat.
Selanjutnya
giliran teman-teman UKJGS yang akan menghibur tamu yang datang. Tentu saja
tidak kalah ciamik dengan grup anak-anak itu. Walau hanya memainkan tiga buah
lancaran, yaitu Gula Klapa, Dirgahayu, Gugur Gunung+Api Revolusi.
Yogyakarta, 18 Agustus 2014
Hari ini
kesempatan pertama bagi teman-teman UKJGS 2013 pentas di Grha Sabha Pramana.
Rasa gugup tidak bisa kuhindari. Beberapa kali aku harus bertanya kepada pak Joko—pelatih
kami—mengenai lancaran/ladrang yang kurang kupahami. Terutama mengenai
nada-nada yang dimainkan dobel. Mendadak aku merasa ada yang janggal dalam
kertas notasi lancaran Santi Mulyo. Aku merasa telah mencoret-coret sesuatu di
kertas itu. Namun, ternyata tidak ada.
Kami pun
memainkan lancaran Tropongan dan lancaran Santi Mulyo saat mendapat kode dari
pak Jko untuk memainkannya. Aku merasa banyak melakukan kesalahan saat
memainkan dua lancaran itu, terlebih pada lancaran Santi Mulyo. Lagi-lagi aku
merasa kesulitan saat berada di peralihan.
Setelah
memainkan dua lancaran itu, kami bisa istirahat sejenak sebelum pak Joko
memberi kode menuju lancaran/ladrang selanjutnya.
Mataku
berkelana. Memperhatikan suasana GSP saat itu. Terlihat sebuah antrean panjang
para orang tua mahasiswa baru. Berdesak-desakan mengisi daftar hadir dan
bergegas mencari tempat duduk yang masih kosong.
Ah,
waktu memang berlalu sangat cepat. Rasanya baru kemarin aku berada di tengah
lapangan GSP. Berbaris dalam kelompok PPSMB Palapa dan mengikuti serangkaian
acara PPSMB Palapa saat itu. Namun sekarang aku berada di sini. Di dalam GSP,
lebih tepatnya di sudut GSP, di sebuah panggung dengan seperangkat gamelan Jawa
yang sudah tertata rapi. Dan aku berada di antara Peking Slendro dan Pelog,
Saron Barung Pelog, dan Bonang Barung Pelog. Bersiap memainkan beberapa buah
lancaran/ladrang untuk menghibur para orang tua mahasiswa baru. Mungkin setahun
yang lalu ayahku juga seperti mereka. Berada dalam antrean panjang itu. Mengisi
daftar hadir dan bergegas mencari tempat duduk. Aku ingat sekali betapa
antusiasnya ayahku menghadiri acara penyambutan orang tua mahasiswa baru. Ah,
tiba-tiba ada rasa rindu yang bergemuruh. Aku ingin pulang.
Ting ting ting. Terdengar suara Bonang Barung
membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap. “eh, lagu apa? Lagu apa?” tanyaku gugup.
“Gula Klapa.”
Dan
seperti yang sudah kuduga, saat evaluasi berlangsung, pak Joko menilai tabuhan
lancaran Santi Mulyo-ku hancur. Hanya benar di awal.
No comments: