Pentas Empat Hari Part 2
Yogyakarta, 19 Agustus 2014
Jam 5
pagi aku tengah sibuk memakai jarit yang telah ku-wiru. Susah sekali memakainya agar terlihat rapi. Berkali-kali
harus kurapikan bahkan kuulang dari awal. Setelah tampak rapi kuikat dengan
ikat pinggang. Agar semakin kencang dan tampak semakin rapi ku-gubet benting ke pinggangku hingga tidak
menyisakan benting. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk membuatnya terlihat
sempurna. Setidaknya di mataku.
Hari ini
adalah hari kedua kami pentas di GSP. Namun, hari pertama kami pentas di acara
wisuda. Hari ini sekitar seribu mahasiswa dan mahasiswi program sarjana yang
akan diwisuda. Sekitar jam 6, setelah briefing
kami naik ke atas panggung. Beberapa orang tua wisudawan/wisudawati mulai
tampak memasuki GSP dan memenuhi kursi yang telah tersedia. Seperti biasa,
lancaran Tropongan menjadi lancaran pembuka. Dan lagi-lagi aku tidak berhasil
membawakannya dengan begitu baik.
Lagu
yang kami bawakan hari ini tidak jauh berbeda dari hari sebelumnya. Hanya
terjadi penambahan beberapa buah lagu, seperti ladrang Gati Padhasih, ladrang
Pariwisata, lancaran Gugur Gunung+Api Revolusi, dan lancaran UKJGS. Saat diberi
kode bahwa wisudawan/wisudawati-nya akan segera memasuki GSP, kami mulai
memainkan ladrang Gati Padhasih. Cukup lama juga kami memainkan lancaran itu.
Baru setelah semua wisudawan dan wisudawati menempati kursinya masing-masing,
kami berganti ke lagu yang lain.
Satu per
satu anggota GMCO (Gadjah Mada Chamber
Orchestra) mulai memasuki GSP ketika kami bersiap memainkan lagu terakhir.
Mereka dengan sigap menempati sebuah panggung kecil yang tidak jauh dari
panggung kami.
Seorang
lelaki tampak sedang berjalan sambil menggenggam baton di tangan kanannya.
Anggota GMCO yang datang paling akhir itu adalah konduktor atau pemimpin orkestra
itu. Seorang konduktor yang tidak asing di mataku, seorang konduktor yang
kukenal sebagai teman satu jurusan denganku. Kemunculannya di panggung kecil
itu menjadi pertanda kami harus meninggalkan panggung kami dan bergantian
menghibur para wisudawan/wisudawati dan para hadirin. Lagu pertama yang mereka
mainkan terdengar indah walau aku tidak tahu judulnya. Hanya instrumental,
tanpa ada lirik dalam lagu itu. Lagu selanjutnya adalah Indonesia Raya, semua
hadirin dipersilakan berdiri. Dan lagu terakhir adalah Hymne Gadjah Mada. Semua
wisudawan/wisudawati serempak menyanyikan lagu itu. Termasuk kami, ikut larut
menyanyikan lagu itu dari belakang panggung.
Setelah
pentas, kami kembali ke Gelanggang untuk menikmati makanan yang telah
disediakan panitia wisuda lalu dilanjutkan dengan evaluasi dan latihan terakhir
menjelang acara wisuda program diploma besok pagi.
Saat
evaluasi pak Joko memuji penampilan kami yang lebih baik dari kemarin. Walau selalu,
peking tidak pernah luput dari koreksi pak Joko.
Yogyakarta, 20 Agustus 2014
Berkali-kali
kulirik jam beker biru itu. Jarum jam terus bergerak cukup cepat, memaksaku
untuk bergegas mengenakan jarit yang tidak kunjung selesai. Berkali-kali pula
ku-SMS dan kutelpon temanku tetapi
hasilnya nihil. Belum ada pemberitahuan SMS-ku
telah terkirim. Aku mulai khawatir, takut terjadi apa-apa dengan temanku dan
takut tidak ada yang mengantarku ke GSP. Jarum panjang telah berada di angka
sepuluh pertanda sepuluh menit lagi genap satu jam aku menunggu temanku.
“Heh,
mba, itu loh temennya nungguin dari tadi,” teriak ibu kosku dari luar rumah.
Wajahku langsung berubah sedikit masam. Ish,
aso bae lah, aku juga ora ngerti nek kancaku wis nungguni awit mau, gerutuku
dalam hati.
Hari ini
adalah hari kedua kami pentas di acara wisuda. Hanya saja kali ini mahasiswa
dan mahasiswi dari program diploma yang akan diwisuda. Lagu yang kami bawakan
pun hampir sama dengan kemarin. Namun ada penambahan lagu seperti ladrang
Asmarandana+lancaran Arum Dalu, lancaran Sida Mulyo+lancaran Suwe Ora Jamu, dan
ladrang Gati Padhasih di-medley
dengan lancaran Api Revolusi.
Ah, dua
hari berturut-turut tampil di acara wisuda membuatku ingin segera lulus. Oke, tiga tahun lagi, pintaku dalam
hati.
Saat pak
Joko memberi kode untuk memainkan lancaran Gugur Gunung, kami langsung mempersiapkan
notasi lagu itu dan siap mendaratkan tabuhan kami ke atas gamelan. Namun,
mendadak lampu panggung kami mulai redup. Seakan ‘mengusir’ kami dari tempat
itu. “Ra sido, ra sido”, kata Joko pertanda kami tidak jadi memainkan lancaran
Gugur Gunung.
Dan
untuk kesekian kalinya peking menjadi sasaran empuk untuk dievaluasi.
Berkali-kali pak Joko menyinggung permainanku yang terlalu cepat saat suwuk lirih dan terlihat tidak sabaran
saat peralihan. Aku hanya bisa menyengir saat dievaluasi, sedikit malu karena
terlalu sering melakukan kesalahan. Namun, itu semua dapat menjadi pelajaran
berharga untukku agar terus memperbaiki permainanku dan sedikit mengurangi
sifat tidak sabaranku itu.
Semangat
peking! Semangat juga buat instrumen yang lain! SemangART! J
No comments: