Ramadhan, Kehilangan, dan Kematian
Bulan
Ramadhan adalah bulan yang mulia. Entah mengapa beberapa hari terakhir ini aku
sering mendengar kabar duka yang menimpa seorang dosen, teman seangkatan, kakak
angkatan, dan keluarga seorang teman. Dan ternyata hal ini juga menimpa
keluarga sahabatku. Sebuah kabar duka datang dari keluarga sahabatku. Sahabatku
sendiri lah yang mengirimkan sendiri pesan itu lewat Line, mengabari berita
duka itu kemarin sore. Yayas, mamahku dah
pergi. Mamah dah gak ada, begitu yang dia katakan yang membuatku tertegun
dan berhenti melangkah. Aku sangat sedih mendengarnya, hatiku dan seluruh
tubuhku pun seperti ikut merasakan kesedihan yang dialami sahabatku. Mataku
berkaca-kaca, aku ingin ikut menangis tetapi air mata ini seperti tertahan.
Aku tidak tahu apa yang sahabatku
rasakan ketika mengetik satu per satu huruf dalam kabar duka itu. Pasti sedih,
tentu saja lah. Tidak ada orang yang begitu kuat saat berhadapan dengan
‘kehilangan’ terlebih jika kehilangan orang yang kita sayang, baik kehilangan
secara harfiah atau kehilangan karena status. Seperti ada unsur magis dalam
‘kehilangan’ itu, hingga membuat orang yang mengalaminya begitu terpuruk dan
merasakan kesedihan yang mendalam. Semua orang pasti pernah mengalami
kehilangan, begitu pun denganku. Aku pernah mengalami kehilangan, dua jenis
kehilangan itu pernah kurasakan. Dan harus kuakui kalau aku teramat sedih saat
orang-orang yang kusayang pergi dari kehidupanku, meninggalkanku. Namun, aku
belum pernah kehilangan (secara harfiah) orang yang melahirkanku, mengandungku
selama 9 bulan lebih, orang yang selalu menemaniku, tidak pernah lelah
menemaniku, kecuali jika kuminta ditemani di sebuah toko buku. Pasti rasanya
sangat sedih.
Pagi tadi sekitar jam setengah 9
kurang aku dan ibu bergegas ke rumah sahabatku begitu dia mengatakan kalau
jenazah akan dimakamkan jam 9. Aku begitu tercengang saat ada banyak mobil yang
terlihat tengah berbaris memadati sisi kanan dan kiri jalan menuju rumah
sahabatku. Begitu motor yang kami tunggangi memasuki gang, suasana duka itu mulai
terasa dengan sangat jelas. Puluhan bahkan mungkin ratusan pelayat yang
sebagian besar berasal dari kolega sang ayah terlihat memenuhi kursi-kursi di
bawah tenda biru itu, kursi depan rumah, dan setiap ruang rumah. Kami terus
melangkah, semakin ke dalam hingga menemukan sosok yang kami cari. Sahabatku. Bersama dua orang
saudara kandungnya, sahabatku terlihat sedang berdiri di depan kamar tidur
orangtuanya, menghadap persis ke sebuah keranda berwarna hijau itu. Sahabatku
terlihat begitu kuat dan tenang, walau terlihat jelas di matanya yang
berkaca-kaca sebuah kesedihan yang tengah dia alami. Aku langsung menyalami
tangan sahabatku sambil mengucapkan bela sungkawa. Dia membalasnya dengan
terima kasih, dan menyergap tubuhku, memelukku. Seakan ingin menumpahkan
seluruh kesedihannya kepadaku. Air matanya tumpah, begitu pun aku. Aku pun
tidak kuasa membendung kesedihanku, kesedihan yang dialami sahabatku. Aku menepuk
punggungnya, tanda aku ingin dia untuk tetap tabah dan kuat. Beberapa saat
kemudian dia melepas pelukannya. Dan setelah air matanya mulai mereda, dia
mengatakan sesuatu hal yang membuatku terenyuh. Mamahku sempet nyariin kamu tau Yas, ungkapnya yang seketika membuatku
merasa terenyuh, terharu, dan merasa bersalah karena tidak pernah menjenguk
beliau.
Sekitar pukul 09.00, prosesi
pemakaman pun dimulai, diawali dengan sambutan yang disampaikan ayahnya
sahabatku hingga pemberangkatan jenazah yang diiringi dengan doa yang
dilantunkan pelayat yang datang. Isak tangis pun beberapa kali terdengar. Sambil
memegang sebuah foto sang ibu, sahabatku tetap terlihat tenang dan kuat, walau
terlihat dengan jelas rona kesedihan di wajahnya, yang biasanya terlihat ceria.
Setiap kehilangan tentu meninggalkan duka bagi yang ditinggalkan, aku merasa
malu pada diriku sendiri karena kehilangan yang kualami tidak sebanding dengan
kehilangan yang sahabatku alami, tidak sesedih yang dirasakan sahabatku. Mungkin
memang hanya waktu yang bisa mengobati duka dari kehilangan itu karena pada
dasarnya kehilangan ‘hanya’ masalah kebiasaan. Proses pembiasaan dari yang ada
menjadi tiada, dari yang tadinya sering bersama hingga tidak bisa lagi bersama.
Rasanya lucu dan aneh jika memutar kembali memori bertahun-tahun silam, saat
tahun-tahun yang lalu orang-orang yang kita sayang masih bersama kita tapi
tidak lagi bersama kita di tahun ini, atau sebaliknya.
Saat tengah berada di antara
kerumunan pelayat aku jadi memikirkan bagaimana cara malaikat yang dikirimkan Allah
mencabut nyawa manusia, mengambil ruh dari jiwa dan tubuh manusia itu. Mungkin
tidak ada satu pun penelitian yang bisa membuktikan proses pencabutan nyawa
itu. Beberapa berita duka kemarin memberikan pelajaran—khususnya untukku—bahwa memang
hanya Allah yang tahu hidup-mati hambaNya. Tinggal dikembalikan ke hambaNya
bagaimana agar dia menjadi manusia yang baik menurut Allah, menjalani setiap
perintahNya, dan lekas bertaubat saat berbuat salah, agar kita tidak hanya
bahagia di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Manusia memang tidak ada yang
sempurna, manusia yang tampak baik pun tidak sempurna, pernah berbuat salah,
tetapi selalu memperbaiki dirinya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi. Membicarakan
kematian memang terdengar mengerikan walau itu hal yang mutlak akan dialami
manusia, tidak pandang tua atau muda. Entah kapan, cepat atau lambat pasti malaikat
Izrail akan menghampiri kita. Aku sendiri pun takut dan belum siap jika
malaikat itu menghampiriku.
No comments: