Ditunggu dan Menunggu
Selepas bel
pulang sekolah ini, seperti biasa aku bergegas ke samping sekolah. Sebuah gedung
berbentuk persegi panjang dan berukuran kecil sengaja dibangun pihak sekolah
untuk menampung semua organisasi sekolah. Tiap organisasi diberi jatah ruang
3x3 meter untuk dijadikan ruang sekretariat, tempat berkumpul pengurus dan
anggota, tempat diskusi, ataupun sekadar tempat nongkrong. Masing-masing organisasi pun diberi kebebasan untuk
mencat ruang yang mereka tempati. Ruang sekre organisasiku berada di ujung
deret gedung itu. Walau masa jabatanku baru saja usai, tetapi itu tidak
menghalangi kebiasaanku untuk singgah ke ruang bercat coklat itu.
Saat aku sedang berjalan menuju
ruang sekre, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. “Hey, bro, nanti
bisa ikutan makan-makan, kan?”, tanya sahabat karib sekaligus rekan kerjaku di
organisasi yang berencana mengadakan ‘pesta ulang tahun’nya. Aku hanya
mengangguk, mengiyakan ajakannya. Lantas mempercepat langkahku untuk menuju
ruang sekre.
Seusai salah Maghrib, aku dan
teman-teman kelasku yang telah berkumpul di depan sekolah pun langsung memacu
kendaraan masing-masing, menuju sebuah rumah makan. Acara ‘pesta ulang tahun’ sahabat
karibku ini memang sederhana dan tidak formal, hanya makan-makan dan tidak ada
acara lain seperti pesta ulang tahun pada umumnya. Sekitar jam 9 kami pulang ke
rumah masing-masing, kecuali aku. “Sepertinya aku ingin ke sekre sebentar sebelum
pulang,”gumamku.
Seperti yang kuduga, sekreku sudah
sepi, walau sekre organisasi lain masih terdengar ramai oleh satu-dua orang
yang sedang bermain gitar. Kurebahkan diriku ke lantai berkeramik yang senada
dengan warna tembok sekreku lantas kuambil ponsel dari saku seragamku. Ada beberapa
notifikasi, salah satunya ada sebuah pesan dari kakak perempuanku yang
menanyakan keberadaanku dan menyuruhku untuk pulang. Tiba-tiba saja hujan turun
begitu deras dan yang membuatku kesal adalah aku tidak membawa jas hujan. Hujan
ini semakin membuatku betah untuk berada di sekre walau sejujurnya aku tidak
enak dengan keluargaku karena sering pulang malam. Hampir setiap malam malah. Ponselku
berbunyi, tentu saja pesan balasan dari kakak perempuanku. Lagi-lagi menyuruhku
untuk bergegas pulang. “Ah, cerewet sekali. Tidak tahu apa kalau di sini
hujannya deras, tidak mungkin kan aku hujan-hujanan?”,gerutuku.
Sekitar jam 10, bahkan hampir jam 11
malam, bersamaan dengan meredanya hujan, kakak perempuanku mengirim pesan agar
aku lekas pulang. “Otw pulang,”balasku.
Dengan berbekal jaket hitam milik ayahku, kuberanikan diri menerjang hujan yang
lambat laun mereda. Tidak seperti biasanya lampu ruang tamu sudah dimatikan
sebelum aku pulang. Kuketuk pintu rumah dengan cukup keras. Suara langkah kaki
pun terdengar begitu jelas menuju ruang tamu. Sedetik kemudian lampu ruang tamu
kembali menyala. Seorang wanita paruh baya yang terlihat begitu mengantuk
membuka pintu, mempersilakanku masuk.
***
Lagi-lagi putra bungsuku pulang
malam. Jam-jam yang seharusnya digunakan untuk belajar pun digunakannya untuk
bermain bersama teman-temannya. Ada saja alasan untuk pulang malam. Dan hari
ini, ‘acara ulang tahun temannya’ dijadikan alasan untuk pulang malam. Kadang aku
heran kenapa putraku itu seperti tidak betah berada di rumah.
Aku menunggu putra bungsuku di ruang
tv sambil menonton sinetron kesayanganku. Rasanya kantuk ini tidak bisa
kupendam, beberapa kali mataku terpejam, tetapi sedetik kemudian aku kembali
bangun karena teringat putra bungsuku yang belum pulang. Berkali-kali kusuruh putri
sulungku untuk menanyakan keberadaan adiknya dan menyuruhnya untuk bergegas
pulang karena sudah semakin malam. Jam 10 belum ada tanda-tanda putra bungsuku
pulang. Hingga hujan turun begitu deras pun belum ada tanda-tanda putraku
bungsuku pulang. Bahkan putra bungsuku mengirim pesan kalau terjebak di sekolah
karena tidak membawa jas hujan. Aku sedikit merasa kesal karena putraku akan
terancam tidak pulang dan menginap di sekolah. Sebenarnya tidak apa kalau
putraku menginap di sekolah karena hujan deras tapi waktuku bersama putraku itu
terlampau sedikit, hanya dari menjelang tidur hingga putraku berangkat sekolah.
Akhirnya kuputuskan untuk ke kamar, menyusul suamiku yang telah lelap tidur.
Aku tidak bisa tidur nyenyak, hatiku
terus gelisah karena putraku tidak kunjung pulang. Jam 11 terdengar suara orang
mengetuk. Itu pasti putraku. Buru-buru kuambil kunci pintu rumah, menyalakan
lampu ruang tamu, dan membuka pintu. Kulihat wajah putraku yang tampak begitu kucel. Tanpa banyak bicara kupersilakan
putraku masuk.
No comments: