Frekuensi dan Advokasi Demokratisasi Media
“Frekuensi milik publik dan karenanya seharusnya diatur untuk kepentingan publik”
Frekuensi menjadi hal yang penting
bagi sebuah stasiun televisi maupun radio. Jika tidak memiliki frekuensi, tentu
saja stasiun televisi maupun radio tersebut tidak bisa menyiarkan informasi dan
acara ke publik secara luas. Walaupun dalam perizinan pemakaian frekuensi harus
melalui pemerintah, tetapi frekuensi sebenarnya dimiliki oleh publik. Bukan dimiliki
secara harfiah, melainkan secara fungsional. Namun, saat ini banyak stasiun
televisi atau radio yang ‘menyalahgunakan’ frekuensi untuk kepentingan pribadi
sang pemilik maupun public figure atau
artis. Seperti yang diceritakan dalam film dokumenter karya Ucu Agustin yang
berjudul “Di Balik Frekuensi”. Film yang diputar dalam acara Bincang Muda di
Fisipol UGM ini mengisahkan dua orang yang memperjuangkan kebenaran dalam kasus
yang berbeda tetapi memiliki benang merah yang sama. Kasus yang mereka
perjuangkan sama-sama berurusan dengan pemilik stasiun televisi, tentu stasiun
televisi yang berbeda. Namun, memiliki akhir cerita yang berbeda.
Kasus pertama yaitu kasus Luviana,
seorang reporter berita yang tiba-tiba saja diberhentikan setelah menulis
sebuah artikel untuk memperjuangkan kaum buruh. Saat Luviana bertanya apa yang
menjadi kesalahannya, pihak stasiun televisi itu mengatakan bahwa Luviana tidak
melakukan kesalahan apapun. Hal itu membuat Luviana bingung. Perjuangan Luviana
untuk kembali bekerja di stasiun itu pun mendapat banyak dukungan dari kaum
jurnalis dan kaum buruh. Dimulai dari berdemo di depan kantor stasiun televisi
itu hingga mendatangi kantor partai sang pemilik stasiun televisi sampai
akhirnya berhasil bertemu dengan sang pemilik. Pertemuan pertama dengan sang
pemilik terjadi perdebatan yang sangat a lot tetapi tidak menghasilkan
keputusan apapun, Luviana malah diminta kembali ke kantor partai itu besok
lusa. Namun, saat Luviana datang ke pertemuan kedua, di hari yang dijanjikan
sang pemilik stasiun televisi, pertemuan kedua tersebut dibatalkan karena sang
pemilik sedang melakukan general check-up
di Singapura. Di hari-hari berikutnya Luviana kembali ke kantor partai sang
pemilik stasiun televisi, tetapi selalu gagal bertemu dengan sang pemilik,
hanya sekretaris jenderal partai itu yang menemui Luviana. Hingga akhirnya
surat PHK itu pun datang ke rumah Luviana, membuat Luviana semakin kalut karena
harus memikirkan cara lain lagi untuk menyambung hidup. Sebab sejak kasus
tersebut muncul, kejelasan status kepegawaian Luviana dan gajinya pun tidak
jelas. Namun, Luviana tidak pantang menyerah. Di bulan September 2012, sekitar
tiga bulan dari kasus itu muncul, Luviana masih memperjuangkan dirinya.
Kasus kedua yaitu kasus Hari
Suwandi, seorang korban lumpur Lapindo yang melakukan aksi jalan kaki dari
Porong menuju Jakarta, memperjuangkan hak korban lumpur Lapindo. Berdua bersama
temannya, Hari disambut isak tangis korban lumpur Lapindo yang mengantar keberangkatan
mereka ke Jakarta. Pengharapan seluruh korban lumpur Lapindo berada di pundak
mereka. Pengharapan atas datangnya ganti rugi yang harus mereka tanggung selama
bertahun-tahun akan segera datang. Bukan hanya ratusan juta melainkan sekitar
70 miliar rupiah. Berharap sekali daerah yang dulu mereka tinggali—tetapi harus
tenggelam—akibat lumpur Lapindo akan kembali seperti sediakala. Satu bulan
lebih Hari dan temannya melakukan aksi jalan kaki, melewati berbagai kota,
menemui beberapa orang yang memberikan bantuan dan semangat atas perjuangan
mereka. Berbagai media pun meliput aksi jalan mereka, tetapi terjadi
pemberitaan berita berbeda di stasiun televisi yang pemiliknya juga pemilik
sebuah perusahaan yang mengakibatkan daerah Porong tenggelam karena luapan
lumpur. Stasiun televisi itu mengatakan bahwa aksi jalan itu hanyalah untuk
mencari sensasi, Hari adalah orang Kediri, dan berbagai berita negatif yang
lain. Pemberitaan itu membuat mereka geram. Puncaknya saat mereka tiba di
Jakarta dan mendatangi kantor DPR, Hari melarang reporter dan kameraman stasiun
televisi itu untuk meliput kegiatan mereka. Namun, perjuangan itu seakan
sia-sia dan tanpa arti saat Hari beserta istri dan cucunya mendatangi kantor
stasiun televisi tersebut sebagai narasumber atas aksi jalan Hari dan temannya.
Bukan hanya karena ganti rugi yang tidak mereka dapatkan tetapi seperti adanya
pemutarbalikkan fakta. Sang teman bahkan tidak mengetahui bahwa di malam itu
Hari pergi ke kantor stasiun televisi itu. Sang teman merasa sedih dan kecewa
saat menonton acara tersebut karena Hari mengaku merasa menyesal atas aksi
jalan yang Hari dan temannya lakukan, meminta maaf hingga bercucuran air mata kepada
sang pemilik stasiun televisi, dan hal-hal lain yang sangat berbeda sebelum
Hari mendatangi kantor stasiun televisi itu.
Dua kasus tersebut memiliki akhir
cerita berbeda. Lain Luviana, lain Hari. Luviana tetap mempertahankan kebenaran
dan terus berjuang, sementara Hari ‘menyerahkan’ perjuangannya dan
keberadaannya tidak lagi diketahui berada di mana. Walau kasus tersebut telah
lama berlalu, tetapi sepertinya kasus itu belum usai, belum tuntas.
Setelah screening “Di Balik Frekuensi”, yaitu diskusi mengenai film
tersebut yang diisi oleh seorang dosen Komunikasi yang membahas dari sisi
wacana demokratisasi media. Beberapa konteks seperti makro, meso, dan mikro pun
beliau singgung. Dalam konteks makro beliau menyinggung beberapa acara yang
seharusnya bersifat privat tetapi menjadi konsumsi publik, seperti pernikahan
artis dan proses melahirkan artis tersebut. Koalisi yang dilakukan beberapa
stasiun televisi saat pemilihan presiden sehingga terbagi menjadi dua. Persoalan
frekuensi penyiaran televisi yang dialami Indonesia yang ternyata cukup banyak
dan urgen, seperti konglomerasi media, sistem penyiaran televisi yang rating-based, dan regulator KPI yang
kurang ‘galak’ karena berada di bawah naungan Kemkominfo. Di Indonesia ada
ratusan dan ribuan stasiun televisi komersial dan lokal, stasiun radio, media
cetak, dan media online. Namun,
sangat disayangkan kepemilikan media tersebut hanya dimiliki 12 orang. Satu pemilik
media tidak hanya memiliki satu media, melainkan beberapa, bahkan di antara
pemilik itu memiliki bisnis di luar media, seperti supermarket dan properti. Selanjutnya
menyinggung demokratisasi media yang terdiri dari dua aspek, freedom (of speech, expression, dan the
press) dan diversity (of content,
voices, dan ownership). Dalam konteks
meso membahas mengenai film dokumenter dan Ucu Agustin, sang sutradara “Di
Balik Frekuensi” yang telah membuat beberapa film indie yang berfokus pada film
dokumenter dan bertemakan perempuan, sejarah, buruh, dan media. Dan dalam
konteks terakhir, yaitu konteks mikro yang membahas ulang sedikit mengenai film
“Di Balik Frekuensi” dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh negara dan
masyarakat sipil.
Sesi terakhir yaitu tanya jawab. Dalam
sesi ini ada pernyataan beliau yang membuatku terkesan dan membuatku mengangguk
setuju. “Dulu, musuhnya jurnalis adalah pemerintah. Sekarang, musuhnya jurnalis
adalah pemilik media, bose dhewek..”
Setelah menonton dan mengikuti diskusi film itu membuatku semakin prihatin
dengan dunia per-media-an di Indonesia. Lebih mengerikan dari yang selama ini
aku bayangkan.
No comments: