Lika-liku di Sendangbiru
Sebuah
notifikasi dari grup Forum Gamada 2013 muncul saat aku tengah mengecek beranda
Facebook. Awal semester lima, seorang teman seangkatanku bertanya tentang KKN.
Terlalu dini, karena KKN 2015 saja baru usai kemarin dan KKN 2016 baru akan
diadakan Juli 2016 nanti. Tepat sepuluh bulan lagi.
Aku mau, balasku di kolom komentar.
***
Pulau
Sempu, sebuah pulau kecil yang terletak di Kabupaten Malang, tepatnya di
selatan Pulau Jawa. Pulau yang pada awalnya belum terjamah oleh manusia. Pulau
yang terlarang untuk dikunjungi oleh wisawatan manapun karena pulau ini telah
diakui sebagai cagar alam sejak pemerintahan Hindia Belanda. Namun, kian hari
nama pulau ini telah didengar oleh banyak orang, membuatnya ingin mengunjungi
pulau ini. Bahkan mereka rela harus mengurus surat izin ke pihak Resort
Konservasi.
Semilir
angin berhembus, merangsek masuk ke angkutan kota yang kami sewa. Menyambut
kedatangan kami, aku dan 23 teman lainnya yang tergabung dalam unit JTM 20. Aku
mendongakkan kepala keluar jendela, menatap Pulau Sempu dari kejauhan. Pulau
yang terletak 400 meter dari tempat kami berpijak, Pantai Sendangbiru. Suara
debur ombak terdengar begitu syahdu di telinga. Kapal-kapal berwarna-warni yang
tertambat di bibir pantai tidak mampu menutupi keindahan jernihnya air laut
yang berwarna biru. Mataku tidak mampu berpaling darinya.
“Aaaa,
pantai! Yeah, waktunya piknik.” Kichi, anggota kelompok KKN kami yang bertubuh
paling gempal berseru riang. Kedua tangannya bahkan wajahnya menempel ke
jendela angkutan kota. Serempak aku dan teman-teman yang lain menatapnya tajam.
“Hush,
ngawur, kita ke sini kan buat KKN. Buat mengabdikan diri ke masyarakat,
bukannya jalan-jalan,” sahutku sewot. Sebagai Kormanit (Koordinator mahasiswa
unit) yang ditunjuk oleh teman-temanku, aku harus mengingatkan mereka bahwa KKN
bukanlah untuk jalan-jalan, melainkan mengabdikan diri pada masyarakat.
Kichi
hanya tertawa melihat tatapan kami. “Hahaha, iya iya, KKN kok KKN. Bukan
jalan-jalan.”
Perjalanan
yang kami lalui sangat melelahkan. Dari Stasiun Kepanjen kami harus menempuh
perjalanan selama dua jam untuk sampai di Desa Tambakrejo ini.
BLUK.
Koper kami jatuhkan ke tanah secara bersamaan, tepat di depan pintu masuk
pondok-an.
“Ahh,
akhirnya sampai juga,” ujar Kichi sambil mengelap peluh yang membasahi
wajahnya.
Tok,
tok, tok. “Assalammualaikum,” serempak kami mengucap salam kepada pemilik
pondok-an.
Terdengar
suara langkah kaki yang semakin jelas menghampiri daun pintu. “Waalaikumus-salam. Ada apa ya?”
“Perkenalkan
pak, saya Tama, ketua kelompok KKN ini. Beberapa bulan yang lalu saya dan
beberapa teman yang lain sempat ke sini untuk meminta izin menyewa tempat ini
untuk kami tinggali selama dua bulan ke depan. Dan bapak telah menyetujuinya,
bahkan kami telah membayar lunas. Ini bukti pembayarannya.”
Pak
Hero, sang pemilik pondokan menerima nota tersebut. Wajahnya tampak canggung
saat kami datang. “Ummm, bagaimana ya mas? Ummm, maaf sekali, sepertinya saya
tidak jadi menyewakan tempat ini.”
“Loh,
kenapa pak? Mendadak sekali bapak bilangnya.”
Pak
Hero menundukkan kepala, tidak berani menatap wajahku. “Umm, maaf sekali mas Tama. Saya juga baru tahu kemarin. Rumah ini akan saya jual mas, untuk melunasi
hutang keluarga saya kepada renternir. Saya juga tidak bisa mengembalikan uang
sewa yang telah kalian bayarkan.” Mata Pak Hero sudah berkaca-kaca.
Aku
tampak bingung. Pikiranku campur aduk, antara kesal, bingung, tetapi iba pada
Pak Hero. Aku melirik ke arah teman-teman yang lain. Sama. Wajah mereka pun
tampak bingung dan kesal.
Tidak
berselang lama, Pak Mul, ketua RT setempat yang kebetulan rumahnya tidak jauh
dari pondokan Pak Hero datang mendekati kami.
“Ada
apa ini?” tanyanya.
Aku
menceritakan permasalahan yang kelompok kami alami. Pak Mul mengangguk takzim
saat aku menceritakannya. Wajahnya tampak begitu tenang.
“Begini
saja, bagaimana kalau tinggal di pondokan saya saja? Tapi maaf sekali, pondokannya
agak jauh dari Pantai Sendangbiru ini, sekitar 2 kilometer dari sini.”
“Ya
tidak apa-apa pak. Gratis kan pak?” Kichi yang giliran bicara. Aku menyikut
menyikut perut Kichi. “Hush, ngawur. Jangan seenaknya kalau ngomong.”
“Haha,
tidak apa-apa Nak. Namun, saya mohon maaf, tidak bisa menyewakannya secara
gratis. Ya saya cuma bisa kasih potongan harga kepada kalian. Bagaimana?”
“Wah,
tidak apa-apa pak. Kami malah berterima kasih kepada bapak karena telah
menyediakan tempat tinggal bagi kami,” kataku sembari mengulurkan tangan pada
Pak Mul dan langsung mendapat sambutan hangat dari Pak Mul. Deal!
Kami
pun beranjak pergi dari pondokan Pak Hero, bergegas mencari angkutan desa.
***
Hari
ini, hari ke-40 kami menjalani KKN di Desa Tambakrejo. Pemindahan lokasi
pondokan ke daerah yang lebih jauh membuat kami harus menguras tenaga lebih
ekstra, terutama saat membawa perlengkapan untuk menjalani program KKN.
Beberapa program dari masing-masing klaster telah dilaksanakan. Sesuai tempat
KKN kami, program utama kami pun berfokus pada pengolahan hasil laut Desa
Tambakrejo.
Pagi-pagi
sekali aku dan sebagian anggota kelompokku bergegas ke Pantai Sendangbiru,
menyiapkan berbagai perlengkapan untuk sosialisasi tentang pengolahan hasil
laut nanti. Naru dan Gadis, dua sahabat yang berbeda karakter ini selalu saja
datang terlambat. Aku hanya menggelengkan kepala tiap kali mereka datang
terlambat.
“Tungguin
aku dong Ru, jangan lari cepet-cepet. Aku capek nih.” Terdengar teriakan Gadis,
teman KKN-ku yang paling feminin dari kejauhan.
“Ah,
payah kamu Dis. Kita harus cepet sampe sana nih. Kasian temen-temen yang lain
nungguin kita. Kamu sih dandannya kelamaan,” sewot Naru.
Dengan
langkah terbirit Gadis mulai menyamakan langkah Naru yang cukup jauh darinya. Pantai
Sendangbiru pagi itu begitu sepi, tenang. Belum ada aktivitas yang dilakukan
warga setempat maupun pengunjung yang datang. Hanya kami yang sibuk menyiapkan
acara sosialisasi nanti, mendirikan tarub dan menyiapkan kursi.
“Maaf
kami baru dateng,” ujar Naru dan Gadis bersamaan.
“Wuhh,
kalian ini. Giliran tenda udah selesein didiriin, kursi juga udah selese
ditata, kalian malah baru dateng.” Aku menggelengkan kepala. Lagi-lagi aku
harus mengomeli mereka
Gadis
menunduk. “Ya maaf Tam.”
“Yaudah,
kalian bantu-bantu konsumsi aja.”
Pukul
09.00, sosialisasi pengolahan hasil laut berjalan tiga puluh menit ketika aku mempersilahkan
Pak Dahlan mengisi materi sosialisasi. Warga yang datang tidak sebanyak yang
kami bayangkan. Bahkan hanya sepertiga dari undangan.
“Lo tau gak kenapa sosialisasi kita pesertanya
cuma dikit?” Kichi mengawali pembicaraan ketika kami berada di belakang
panggung. Aku, Naru, dan Gadis menatap Kichi penasaran.
“Ternyata
seratus meter dari sini ada tim KKN dari universitas lain yang lagi sosialisasi
pengolahan hasil laut juga.”
“Tau
dari mana kamu Chi? Pantes aja tempat kita sepi.” Gadis mulai terpancing.
Tanpa
menunggu jawaban dari Kichi, aku dan empat teman satu tim KKN-ku yang sedang
tidak bertugas bergegas mencari tempat sosialisasi yang dilakukan tim KKN
universitas lain itu.
“Mau
ke mana kamu Tam?” teriak Naru. Aku tidak mengindahkan tanyanya, bahkan berlalu
begitu saja.
“Bisa
saya bicara dengan kormanit kalian?” tanyaku pada salah seorang mahasiswi
berjas almamater biru donker itu ketika aku dan empat teman satu tim KKN sampai
di tempat sosialisasi mereka.
“Ada
apa mas?” tanpa perlu dipanggil, sang kormanit yang berperawakan tinggi itu
menghampiriku.
“Begini
mas, saya tahu tim KKN kalian baru datang ke sini tiga hari yang lalu. Dan tim
KKN saya telah lebih dulu datang ke sini, tapi kenapa tim KKN kalian melakukan
sosialisasi yang sama dengan kami? Bahkan di hari dan jam yang sama.”
“Maaf
mas, kami tidak tahu kalau program kita sama.”
“Ya
makanya, tim kalian harus koordinasi dengan tim KKN kami agar tidak bertabrakan
seperti ini,” ujarku geram.
“Sekali
lagi kami minta maaf mas.”
“Ya
sudah. Nanti malam akan saya adakan pertemuan untuk melakukan koordinasi
mengenai program tim KKN masing-masing.”
Sang
Kormanit berjas almamater biru donker itu menganggukkan kepala, tanda setuju. Aku
dan keempat teman satu tim KKN pun beranjak pergi.
Malam
harinya tim KKN berjas almamater biru donker itu memenuhi undangan kami. Aku membuka
pertemuan malam itu. Tidak ingin mengulur-ulur waktu aku pun membacakan program
tim KKN kami, lengkap beserta jadwalnya. Tim KKN berjas almamater biru donker
itu juga membacakan program yang mereka rancang. Kami sangat terkejut karena
secara kebetulan sisa program yang belum kami laksanakan sama dengan milik
mereka. Bahkan jadwalnya.
“Mas,
bagaimana kalau program yang sama itu diubah. Atau kalau mau tetap menjalankan
program itu, lebih baik ganti hari saja,” usulku.
“Baiklah,
nanti akan kami revisi,” Kormanit tim KKN berjas almamater biru donker itu yang
menjawab. Setelah menemukan titik terang bahwa tidak akan ada program yang
bertabrakan, aku pun menyudahi pertemuan malam itu.
Esoknya
tim KKN kami melakukan praktek dari sosialisasi yang telah dilakukan kemarin di
rumah salah satu warga.
“Loh,
kok ada kalian?” aku bertanya pada beberapa mahasiswi berjas almamater biru
donker itu.
“Kita
mau praktek dari sosialisasi pengolahan hasil laut yang kami lakukan kemaren
mas Tama.”
Kok
gitu? Kan semalem udah sepakat kalau gak akan ada program yang tabrakan. Tapi
kok jadi gini?” nadaku mulai meninggi. Mereka
diam. Sementara aku mulai kesal dan geram dengan mereka yang tidak menepati
janji.
Hari-hari
berikutnya kekesalan itu semakin berdampak pada hubungan tim KKN kami dengan
tim KKN berjas almamater biru donker itu. Tidak ada sapa di antara tim KKN kami
masing-masing saat berpapasan bahkan kami saling memalingkan wajah. Tidak ada
pembicaraan saat tim KKN kami masing-masing sedang duduk bersama di balai desa.
Kian hari suasana di antara tim KKN kami masing-masing semakin tidak
mengenakan, membuat kami semakin canggung. Bahkan sekadar untuk meminta tolong.
H-7
sebelum KKN usai, pagi-pagi sekali kami sudah berada di Pantai Sendangbiru.
Menikmati matahari yang baru saja keluar dari peraduannya. Menikmati udara pagi
yang masih suci, belum tersentuh asap kendaraan yang melintasi jalan. Pagi ini,
kami tidak sedang bersiap untuk menjalankan program KKN, kami sengaja mengambil
jatah libur kami di akhir pekan untuk menikmati keindahan Pantai Sendangbiru
dan Pulau Sempu.
“Aaahhh,
akhirnya bisa ke sini.” Kichi berseru riang, dari awal dia yang memang paling
ingin pergi ke Pulau Sempu. Berkali-kali merengek padaku.
“Udah
seneng kan lo Chi?” Kichi hanya tersenyum menanggapi tanyaku. Tangannya
direntangkan ke udara, menikmati udara yang menerpa wajahnya.
Matahari
mulai beranjak naik, para nelayan satu per satu pun mulai berdatangan. Mengecek
perahu milik mereka. Bersiap menjalankan aktivitas hari itu, menjaring ikan dan
membawa wisatawan ke Pulau Sempu. Aku dan ke-23 teman satu tim KKN bergegas ke
Resort Konservasi Pulau Sempu yang terletak dekat tempat parkir wisatawan.
Tidak perlu menunggu lama dan melewati proses yang panjang surat izin mengunjungi
Pulau Sempu sudah kami kantongi.
“Mau
ke Pulau Sempu mas?” tanya sang pemilik perahu.
“Iya
pak, mau nyewa dua perahu bisa?”
“Tentu
mas, sangat bisa.” Pria paruh baya itu begitu riang saat kami menyewa
perahunya. Dia pun memanggil seorang temannya untuk disewakan perahunya kepada
kami.
Ternyata
udara pantai tidak hanya segar saat pagi hari, di tengah laut kami juga
merasakan udara segar yang sama segarnya saat pagi tadi. Ombak begitu tenang
menggoyangkan perahu kami. Wajah-wajah kami tidak hentinya tersenyum riang
menikmati keindahan pantai ini. Pantai Sendangbiru, pantai yang beberapa hari
lalu hanya bisa kami nikmati dari bibir pantai. Kini kami bisa nikmati bukan
hanya dari bibir pantainya saja, tetapi di tengah laut, di antara ombak yang
kian lama tidak lagi bersahabat.
Beberapa
ratus meter mendekati Pulau Sempu ombak kian mengganas, kian kencang
menggoyangkan perahu kami. Wajah-wajah riang kami berubah menjadi cemas. Tangan
kami menggenggam erat sisi perahu. Sang pemilik perahu pun berusaha sekuat
tenaga menenangkan kami dan juga laju perahu yang semakin tidak keruan. Namun
nahas, ombak menerjang perahu kami, membalikkan perahu yang kami tumpangi.
“Tama
mana? Tama mana?” teriak Kichi saat tidak melihat sosokku di antara teman satu
tim KKN. Perahu yang tim KKN-ku tumpangi membawa kami selamat sampai Pulau
Sempu. Walau terjangan ombak itu meluluhlantakan perahu kami.
Naru,
Gadis, dan yang lainnya mulai kelimpungan mencariku. Menyusuri bibir Pulau
Sempu. Namun, nihil. Mereka tidak menemukanku. Mereka bergegas ke pos petugas
Pulau Sempu. Beberapa petugas pun dikerahkan untuk mencariku. Namun, belum
sampai sepuluh menit perahu petugas itu pun berputar balik ke arah kami.
Bukan hanya perahu petugas yang menghampiri kami, tetapi ada satu perahu lagi.
Kichi menatap lekat siapa yang berada di perahu. Dan ternyata perahu itu
membawa sang kormanit berjas almamater biru donker itu.
“Aaaaakkkk,
Tamaaaa.” Teriakan Kichi mengagetkan Naru dan Gadis yang melihat tubuhku tidak
sadarkan diri di perahu yang ditumpangi sang kormanit berjas almamater biru
donker.
***
Hari
ini, hari ke-61 KKN, hari terakhir kami berada di Desa Tambakrejo. Seusai Subuh
aku, Kichi, dan anggota perempuan lainnya mulai mengemasi barang dan
membersihkan pondokan. Pagi ini, selesai berkemas kami bergegas ke balai desa
yang berada dekat bibir Pantai Sendangbiru. Sebuah pesta perpisahan
kecil-kecilan sengaja mereka buat untuk kami. Tangis haru mewarnai pesta
perpisahan itu. Di akhir pesta kami memberikan plakat dan kenang-kenangan untuk
Desa Tambakrejo. Lalu kami saling berjabat tangan.
Kami
serempak melambaikan tangan kepada seluruh warga yang datang ketika kami
beranjak pergi. Aku, yang terkenal jarang galau malah menangis sesenggukan
saat melambaikan tangannya. Lebih-lebih Kichi, jangan ditanya. Dari kejauhan tim
KKN berjas almamater biru donker itu terlihat berdiri berjejer, seakan
menghalangi langkah kami untuk kembali ke Yogyakarta.
Aku
menatap mereka dari kejauhan. Perlahan mulai menghampiri mereka.
“Kamu
mau ngapain Tam?” tanya Kichi. Aku tidak menjawab.
Tanpa
malu, aku memeluk sang kormanit berjas almamater biru donker itu.
“Makasih
sob, udah nolongin gue waktu itu. Maaf kalau kelompok kami sering bersitegang
dengan kelompok lo,” kataku sembari melepas pelukan, takut dikira yang
tidak-tidak oleh teman-temanku.
“Santai
bos.” Sang Kormanit tim KKN berjas almamater biru donker itu tersenyum pada
kami.
Kichi, Naru, Gadis, dan yang lainnya
mulai mengikuti langkahku. Menghampiri tim KKN berjas almamater biru donker
itu. Sekejap kemudian kami saling berpelukan, melupakan segala kekesalan yang pernah
ada. Beberapa detik kemudian angkutan desa yang kami sewa pun datang. Kami
melambaikan tangan ke tim KKN berjas almamater biru donker itu. Bye bye, kawan.
No comments: