Apakah Kamu Bahagia?
Apakah kamu merasa bahagia dengan hidupmu?
Apakah yang kamu lakukan membuatmu bahagia?
Apakah kebahagiaan itu
sesuatu yang perlu dicari?
Pertanyaan itu
mungkin sering kali kita tanyakan pada diri kita sendiri. Segala yang kita
lakukan, walaupun hal itu kita anggap sebagai sesuatu yang kita sukai,
terkadang justru tidak membuat kita bahagia. Banyak faktor yang menjadikannya
demikian. Banyaknya pekerjaan lainnya yang harus segera diselesaikan,
lingkungan, serta orang-orang sekitar. Namun, seharusnya kita merasa bahagia
saat melakukan hal yang kita sukai.
Kata
seorang dosen, kebahagiaan itu melekat dalam diri kita, dan kebahagiaan itu
bukan sesuatu yang perlu dicari. Akan tetapi, kalau tidak ada stimulus yang
menjadikan kita bahagia, apakah kita tetap merasa bahagia? Menurut Seligman, kebahagiaan
diartikan sebagai emosi dan kegiatan positif1. Lain lagi dengan
Veenhoven, menurutnya kebahagiaan juga bisa diartikan sebagai kepuasan hidup2.
Tolak
ukur kebahagiaan semua orang pun berbeda. Ada yang mengartikan kebahagiaan
sebagai sesuatu yang berwujud materi. Namun ada juga yang merasa bahagia ketika
orang yang dia sayang merasa bahagia. Ada berbagai faktor yang membuatnya
demikian. Salahsatunya yaitu perbedaan budaya, karena budaya memiliki peran
fisiologis yang terkait dengan persepsi individu terhadap realitas. Dengan demikian
budaya yang berlaku dalam suatu daerah pasti akan memengaruhi orang-orang di
dalamnya2.
Dalam
penelitian yang dilakukan Uchida, dkk mengenai konstruksi cultural kebahagiaan
mengungkapkan bahwa ada perbedaan makna kebahagiaan di konteks dua budaya yang
berbeda, yaitu budaya Barat dan budaya Timur. Seperti yang kita tahu budaya
Barat cenderung menganut konsep individualistik. Ukuran kebahagiaan menurut
budaya mereka cenderung berkaitan dengan
pencapaian prestasi individu atau achievement.
Self-esteem pun menjadi prediksi
terbaik baik kebahagiaan mereka. Sementara dalam budaya Timur yang menganut
konsep kolektivistik mengukur kebahagiaan bukan semata-mata dari achievement atau sesuatu berbentuk
materi. Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan berkaitan dengan pencapaian
hubungan interpersonal2. Ketika orang lain, terlebih orang yang
mereka sayang merasa bahagia, mereka pun ikut merasakan kebahagiaan itu. Begitu
pun saat orang yang mereka sayang tersebut meraih suatu prestasi. Walau bukan
mereka yang meraih prestasi tersebut, mereka akan merasakan kebahagian itu.
Indonesia
sendiri, menurut pakar psikologi dari Universitas Leicester Inggris
mengemukakan bahwa tingkat kebahagiaan Indonesia menempati urutan ke-64 dari
178 negara di dunia. Penelitian yang dilakukan National SWLS Score pun memperlihatkan bahwa peringkat kebahagiaan
Indonesia berada di atas negara-negara Asia lainnya. Secara tidak langsung
kebahagiaan Indonesia tersebut bisa disejajarkan dengan kebahagiaan orang suku
Jawa yang menjadi suku mayoritas negeri ini. Hal ini selaras dengan penelitian
yang dilakukan oleh Frontier Consultant
Group pada tahun 2007 yang menempatkan Semarang sebagai kota yang
penduduknya paling bahagia. Semarang menempati urutan pertama dari 6 kota besar
yang diteliti, kelima kota lainnya yaitu Makassar, Bandung, Surabaya, Jakarta,
dan Medan3. Secara pendapat Jakarta memang jauh lebih tinggi dari
Semarang, tetapi hal itu tidak menjamin kebahagiaan yang dirasakan penduduknya.
Dengan demikian dapat dilihat jelas bahwa materi bukan ukuran kebahagiaan
seseorang. Terlebih karakteristik orang Semarang dan sebagian besar orang Jawa
lainnya yang cenderung memiliki sikap nrimo3.
Selain
budaya, faktor agama atau spiritual juga menjadi
faktor kebahagiaan seseorang. Intinya dengan selalu menerapkan nilai religius ke
dalam kehidupan kita, seperti mudah memaafkan, mensyukuri nikmat yang
diberikan, dan berperilaku sederhana3 membuat kita bisa merasakan
kebahagiaan.
Dikutip
dari pijarpsikologi.org4, ada enam nilai yang dikemukakan
Seligman untuk membuat seseorang mampu mempertahankan atau merasakan
kebahagiaan. Pertama virtue of wisdom and
knowledge, kita harus mencari tahu apa yang menjadi ketertarikan kita
sehingga kita mampu mencintai dunia dan menemukan banyak kebahagiaan di dalam. Berinteraksi
dengan luasnya kehidupan pun bisa membuat kita bahagia. Kedua, virtue of courage, saat kita dihadapkan
oleh tantangan, kita tidak boleh merasa pesimis dan lemah. Sebab perasaan
pesimis dan lemah itulah yang memunculkan ketidakbahagiaan. Ketiga, virtue of humanity of love, kebahagiaan
bisa datang dari orang lain, dengan cara menjalin hubungan baik dengan
orang-orang di sekitar.
Lalu
keempat, virtue of justice, menghargai
hak dan kewajiban yang seringkali kita lupakan. Kelima, virtue of temperance, terkadang seseorang menjadi sangat temperamen
saat menghadapi sesuatu hal. Namun, orang yang bahagia pandai memahami pasang
surutnya perasaan mereka, mampu untuk mengontrol emosi negatif. Dan terakhir virtue of trandence, yaitu kekuatan
emosi diri untuk menghubungkan diri ke sesuatu yang besar atau permanen,
seperti kepada Tuhan. Sering-seringlah untuk mensyukuri apa yang telah
diberikan Tuhan kepada kita. Perasaan optimis terhadap masa depan pun mampu
menjadikan kita lebih bahagia.
Jadi,
sudahkah kamu bahagia? Karena pada dasarnya kebahagiaan itu datang dari kita
sendiri, kita yang mengizinkan kita merasa bahagia. Tidak perlu membeli barang
yang mewah, tidak perlu berjalan-jalan hingga luar negeri dengan menghabiskan
seluruh isi tabungan, atau mencari ke sana ke mari untuk mencari kebahagiaan. Namun,
cukup dengan mensyukuri nikmat Tuhan karena hingga detik ini kamu masih
diizinkan menghirup udara, menikmati teriknya mentari, bercengkrama dengan
teman, dan tentu saja membaca tulisan. Cukuplah berpikir positif, maka kamu
akan lebih bahagia. Because happiness is embedded
in your heart.
Sumber
data tulisan:
1Herlani
Wijayanti dan Fivi Nurwianti, “Kekuatan Karakter dan Kebahagiaan pada Suku Jawa”,
Jurnal Psikologi (Volume 3, 2010) h.
117
2Wahyu Jati
Anggoro, “Konstruksi dan Identifikasi Properti Psikometris Instrumen Pengukuran
Kebahagiaan Berbasis Pendekatan Indigenous Psychology: Studi
Multitrait-Multimethod”, Jurnal Psikologi
(Volume 2, 2010), h.178
3Rahmat Aziz,“Pengalaman
Spiritual dan Kebahagiaan pada Guru Agama Sekolah Dasar”, Proyeksi (Volume 6, 2011), h. 4
4http://pijarpsikologi.org/yuk-mulai-hidup-yang-bahagia-dengan-resep-kebahagiaan-ala-seligman/,
diakses pada tanggal 18 Maret 2016
lanjutkan menulis ya. daftar pustakanya banyak. tema buku ini juga menarik
ReplyDeletesiap, makasih komentar dan sarannya mba :D
Delete