Bertemu di Kereta
Kretek…kretek…tut…tut…
Suara mesin
kereta mulai menggema di telingaku, badanku pun ikut bergoyang mengikuti irama
deru kereta. Ini pertama kalinya aku menaiki kereta, pertama kalinya pula aku
pergi jauh tanpa ditemani kedua orangtuaku. Aku menatap keluar jendela,
menikmati keindahan langit sore. Pancaran mentari di kala senja, serta
burung-burung yang berterbangan menguasai langit kian menambah keindahan langit
sore itu. Tiba-tiba bayangan ibu melintas di antara gumpalan awan. Refleks senyum
mengembang dari bibirku. Namun, kesedihan tidak bisa kuelakkan.
“Mau ke mana
mba?” seorang laki-laki yang sekilas terlihat seumuran denganku tiba-tiba
mengajakku bicara. Membuatku sejenak melipat buku yang kubaca.
“Eh? Saya mau
ke Jogja mas,” kataku sedikit takut.
Laki-laki itu
menganggukan kepalanya. “Sama berarti.”
Aku hanya
membalasnya dengan tersenyum nanggung lalu kembali berkutat dengan novel yang
tadi sedang kubaca.
Kretek…kretek…tut…tut…
Suara kereta
itu kembali menggema. Tidak terasa sudah dua stasiun terlewati. Kereta pun
semakin menjauhi kampung halamanku. Membuat rasa rinduku semakin menggebu.
“Namanya siapa
mba?” Laki-laki itu kembali mengajakku berbicara sembari mengulurkan tangannya.
Aku segera
mengatupkan kedua tanganku. “Kayla.”
“Eh, maaf
maaf. Aku Tama.” Laki-laki terlihat begitu salah tingkah saat aku tidak
membalas uluran tangannya. Membuatku tertawa melihat tingkahnya.
“Wah, ternyata
bisa ketawa juga nih.”
Kedua alisku
seketika menukik, mataku pun terlihat semakin tajam saat mendengar ejekannya. Sial. Laki-laki justru tertawa melihat
wajahku yang kesal dengan ejekannya. Kami pun kembali ke aktivitas
masing-masing. Namun sama-sama berkutat dengan sebuah novel. Beberapa kali
kulihat laki-laki tampak menghentak-hentakannya kaki, mengikuti setiap irama
yang dia dengar melalui earphone.
“Kuliah di
Jogja juga mas?” Kali ini aku yang mengajaknya berbicara.
Laki-laki itu
menutup novel yang sedang dibacanya. “Baru lulus taun kemaren mbak. Tapi masih
ada kerjaan di Jogja sih.” Aku hanya
ber-oh menimpali jawabannya, sudah kehabisan kata. Walau sebenarnya aku malu
untuk bertanya lebih banyak.
“Oya, kalau
mbaknya kuliah di jurusan apa?”
“Psikologi
mas,” jawabku.
“Wah, keren
dong. Bisa baca pikiran orang.”
“We are not a mind reader mas,” kataku
sedikit sebal karena sering dilabeli seperti itu. Lagi-lagi laki-laki itu hanya
tertawa melihat wajahku yang sudah kesal.
Kretek…kretek…tut…tut…
Lagi-lagi
suara mesin kereta kembali menggema. Sebentar lagi kereta ini akan sampai di
stasiun tujuanku, stasiun Lempuyangan. Ini untuk pertama kalinya aku kembali
mengunjungi Jogja setelah terakhir kali di bangku sekolah dasar.
Aku melirik ke
arah laki-laki yang bernama Tama itu. Beberapa kali naik transportasi umum,
belum pernah kulihat sosok laki-laki yang menghabiskan perjalanannya dengan
membaca. Laki-laki yang menarik, ujarku
tiba-tiba.
Suara mesin
kereta sudah semakin melemah, kecepatan lajunya pun semakin melambat. Suara
petugas pun samar-samar mulai terdengar. “Sebentar lagi Kereta Api Kahuripan akan
memasuki Stasiun Lempuyangan. Bagi para penumpang yang turun di stasiun, mohon
periksa kembali barang bawaan Anda. Jangan sampai ada yang tertinggal.”
Ting tong ting tong ting tong.
Suara dari
stasiun Lempuyangan semakin terdengar jelas ketika Kereta Api Kahuripan telah
berhenti. Penumpang yang sedari tadi telah mengemasi barang bawaan pun perlahan
bangkit dari kursi masing-masing. Termasuk aku dan Tama, laki-laki itu. Kami
pun menghambur ke dalam penumpang yang berdesakan ingin keluar dari gerbong. Namun,
beberapa kali langkah kami sempat terhenti karena ada penumpang yang juga ingin
segera masuk ke gerbong kereta.
Aku
menggenggam erat ransel serta barang bawaanku yang cukup banyak. Takut sekali
jika ada yang ingin mengambilnya. Fyuh,
akhirnya keluar juga, batinku sembari menghela napas lega. Sejenak aku
teringat dengan Tama. Tiba-tiba saja dia tidak ada. Kutengok ke belakang, tidak
ada. Kuamati sekitar pun sama. Tama menghilang. Deg. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang berbeda, tiba-tiba saja
aku merasa khawatir karena Tama, laki-laki itu menghilang.
Kubergegas
menuju pintu keluar sembari melihat ke sekitar, berharap sosok Tama akan
tiba-tiba muncul seperti dia tiba-tiba mengajakku berkenalan.
Satu menit,
lima menit, sepuluh menit, bahkan tiga puluh menit aku telah menunggu di
stasiun ini, namun sosok Tama tidak lagi muncul. Aku sengaja sekali mengulur
waktuku untuk segera sampai di tempat yang akan aku tinggali selama menjadi
mahasiswa. Dan entah kenapa aku seperti merasa kehilangan Tama, sosok laki-laki
yang menyebalkan saat pertama kali berjumpa.
Mataku kembali
mengamati sekitar. Satu per satu penumpang yang masih menunggu di ruang tunggu
aku amati. Namun tidak kulihat sosok Tama. Aku menyerah. Bergegas keluar dari
stasiun.
“Taksi Pak,”
panggilku.
Supir
taksi itu pun segera menghampiriku dan membantuku menaruh barang bawaan di
bagasi taksi. Aku pun segera melangkah masuk ke dalam mobil. Namun, kaki
kananku sejenak berhenti melangkah tepat di atas lantai taksi. Refleks aku
menengok ke belakang sekali lagi. Namun hasilnya tetap nihil. Dengan berat hati
dan sedikit kecewa, aku pun segera masuk ke dalam taksi.
#MalamNarasiOWOP
No comments: