Menulis dan Penulis: Kenapa?
Menulis, sama seperti kebanyakan
penikmat buku/novel yang lain, aku pun suka menulis. Dan tentu saja ingin
menjadi penulis. Tanpa disadari, dalam setiap tahap perkembanganku, tujuan
menulisku berbeda-beda. Sekolah dasar, tepatnya kelas 4 SD aku mulai gemar
menulis. Saat itu aku menulis karena iseng ingin menulis. Aku menulis beberapa cerita
pendek dalam sebuah buku tulis kosong.
Memasuki
usia remaja, tepatnya kelas 3 SMP media menulisku beralih dari buku harian ke
media online atau blog. Saat itu aku
menjadikan menulis sebagai alat untuk menumpahkan kekesalanku, kesedihanku, dan
segala yang kurasakan. Saat itu, bahkan terkadang sampai sekarang, blog menjadi
pelampiasan seluruh emosiku. Setelah kuliah di Psikologi aku baru tahu kalau
itu dinamakan katarsis, atau melampiaskan seluruh emosi, terutama emosi negatif
ke suatu objek—dalam hal ini menulis. Semakin sering menulis membuatku ingin
menjadi seorang penulis. Dan kesempatan itu seakan terbuka lebar saat memasuki
bangku kuliah.
Berawal
dari mengikuti sebuah BPPM di fakultasku dan sebuah komunitas menulis di tahun
pertama kuliah membuat kemampuan menulisku terasah dengan sendirinya. Di BPPM,
banyak teori tentang menulis yang kudapatkan, pentingnya memahami sebuah EYD,
dan pentingnya terhadap keadaan sekitar. Di sebuah komunitas menulis itu, aku
belajar untuk terbiasa menulis apapun setiap minggunya hingga bisa mengenal
lebih dekat dengan menulis. Keinginanku menjadi seorang penulis semakin
menggebu saat aku mengikuti kelas menulis online novel yang diadakan komunitas
menulis itu. Kelas itu diadakan selama 30 hari, dan setiap harinya aku harus
menyetor minimal 4 halaman. Walau berat, tapi itu menjadi tantangan besar
bagiku. Dan dalam 30 hari itu, aku bisa menyelesaikan satu buah cerita dalam
novel. Walau sekarang masih berupa draft.
Penulis,
terkadang aku memikirkan alasan mengapa aku ingin menulis, ingin menjadi
penulis. Semakin sering kucari terkadang membuat nyali menulisku menciut dan terbesit
keengganan untuk menulis karena aku menulis karena ingin didengar dan
melampiaskan emosiku. Dan itu tidak hanya terjadi satu kali. Namun, semangat
menjadi penulis itu kembali bangkit saat Sabtu kemarin aku menghadiri seminar
yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena.
Ada
empat pembicara yang mengisi acara tersebut, salah satunya Asma Nadia. Namun,
justru bukan materi yang disampaikan oleh beliau yang membuatku terkesan—karena
beliau tidak begitu membahas tentang menulis. Melainkan materi pertama yang
disampaikan oleh Evi Idawati, seorang sastrawan, penulis skenario, dan dosen di
sebuah institut seni. Menurut beliau, menulis sama dengan kata-kata. Jika tulisan
itu baik, makan akan menjadikan kebaikan. Sebaliknya, jika tulisan itu buruk,
maka akan menjadikannya buruk juga atau bahkan dosa.
Menurut
Evi Idawati, harus dipikirkan juga apa yang menjadi tujuan kita menjadi
penulis. Kalau hanya popularitas, maka yang kita dapat hanya popularitas. Kalau
tujuannya materi atau uang, maka yang didapat hanya itu. Pun jika tujuannya
cinta, yang kita dapat juga cinta atau pasangan. Namun, jika kita menjadikan
Tuhan sebagai puncak dari segala tujuan, maka yang akan didapatkan adalah apa
yang kita inginkan. Jika puncak segala tujuan adalah Tuhan, menulis adalah
ibadah kepada Tuhan, kiblat dari peribadatannya adalah kebikan. Jika segala
yang kita lakukan (dalam hal ini menulis) berkiblat pada Tuhan, maka hal itu akan
menjadikannya kebaikan. Siapapun yang hidup dalam kebaikan maka ia akan
mengenal kesantunan dan sifat-sifat baik, dan bisa dipraktekan dalam tulisan
kita.
Jadi,
kenapa aku ingin menjadi penulis? Aku ingin menebar kebaikan melalui tulisanku.
“Bersama-Nya, siapa yang berani melawan
kita?”
No comments: