Menunggu Antrean
Tik tok tik tok
Suara jarum
jam tanganku bergerak cepat. Tepat pukul 4 sore, tapi acara pembinaan ini tidak
kunjung usai.
“Yuk, pulang
aja. Kayaknya masih lumayan lama,” ajak temanku.
Aku
mengangguk. Sepertinya begitu. Lalu
kami pun meninggalkan ruang auditorium itu sebelum acara resmi dibubarkan. Kami
bergegas ke tempat parkir yang terletak di samping Perpustakaan Pusat.
“Motornya tadi
aku taruh mana ya?”
“Kayaknya yang
itu deh, samping pohon yang setengahnya ditebang.”
“Oh iya.” Lalu
kami menaiki motor milik temanku. Namun, langkah kami terhenti. Tepat di depan
kami, antrean motor yang ingin keluar sudah mengular panjang. Bukan hanya dari
sisi kami, tapi juga dari sisi timur, barat, barat daya, barat lalu, dan timur
laut.
“Astaga, macetnya,”
gerutuku.
“Iya nih,
motor yang keluar dari arah mana-mana.”
Satu menit
kami menunggu, motor kami tidak bergerak sama. Dua menit, tiga menit, pun sama.
Lima menit kemudian motor kami berhasil bergerak selangkah. Beberapa menit
kemudian motor kami tetap berada di tempat. Tidak ada perubahan. Barisan pun
bergerak lambat. Menit selanjutnya motor kami hanya bergerak selangkah. Membuat
kami harus menunggu dengan ekstra sabar.
Jarum jam
semakin bergerak cepat, kemacetan ini belum juga usai. Membuat kami lelah
menunggu. Kuamati orang-orang di sekitarku, wajah mereka pun sama lelahnya
dengan kami. Bergegas ingin pulang tapi harus berjuang keras untuk melewati
kemacetan ini.
Beberapa kali
aku mengalami kemacetan seperti ini, tapi tidak kusangka akan mengalami
kemacetan di dalam wilayah kampusku sendiri. Berkali-kali aku mendengus kesal
karena motor kami seakan tidak bergerak.
“Udah jam
setengah lima lebih nih,” ujar temanku sembari memperlihatkan jam tangannya.
“Sungguh?” Aku
tersontak kaget. Ternyata cukup lama juga
ya kami menunggu antrean ini, batinku.
Beberapa belas
langkah lagi motor kami akan mendekati pintu keluar parkir Perpustakaan Pusat.
Kuamati sekitarku lagi, di antara wajah-wajah orang lelah menunggu itu, ada
satu sosok yang menarik perhatianku.
Sosok lelaki
berperawakan tinggi kurus dan berpakaian bak eksekutif muda yang tengah
menghampiri motor yang terparkir di samping motor kami. Tangannya menenteng tas
selempang berwarna hitam. Perlahan mulai menaruh tas selempang itu di gantungan
depan motornya. Penampilan yang sangat jarang kulihat di antara teman-temanku
yang sama-sama menempuh pendidikan strata 1.
Kemeja birunya
yang digulung setengah serta kacamata kotaknya menambah menarik penampilan
laki-laki itu. Kuamati laki-laki itu dengan penuh saksama. Setelah menaruh tas,
perlahan dia mulai membuka jok motornya. Mengambil sandal jepit yang ada di jok
motornya. Lalu sepatu hitamnya dilepas dan berganti menjadi sandal jepit.
Gerakannya begitu elegan dan tertata. Perlahan dan tidak teburu-buru. Dari
sebelah kanan lalu ke sebelah kiri.
Kuamati setiap
gerakannya hingga dia menaiki motor skuternya.
“Woy, pulang
lo?” Tiba-tiba seseorang menghampirinya.
“Iya nih bro,
macet banget. Motor gue gak bisa keluar,” keluhnya dengan suaranya yang bass.
“Yaudah, gue
duluan ya. Motor gue di ujung sana nih.” Setelah melakukan salam perpisahan
khas kaum lelaki, laki-laki itu pun kembali menunggu antrean. Sama seperti kami
yang telah lebih dahulu menunggu.
Satu menit,
kami berdiam di tempat.
Satu menit
kemudian, kami tetap berdiam di tempat. Dan motor laki-laki itu bergerak hampir
menjejajari kami. Menit berikutnya motor kami sejajar.
Wajah
laki-laki itu terlihat sangat jelas di mataku. Harus kuakui, secara fisik
laki-laki itu memang mempesona. Dan pandanganku pun tidak bisa teralihkan dari
sosok laki-laki itu. Berkali-kali aku mencoba menunduk dan merapal istighfar.
Satu menit
kemudian, motor laki-laki itu sudah mendahului kami.
Menit
berikutnya motor kami sudah bergerak lebih lebar. Satu langkah, dua langkah,
tiga langkah, empat langkah, dan lima langkah kemudian motor kami sudah
bergerak mendekati pintu keluar.
“STNK atau
KTM-nya dek,” pinta petugas parkir Perpustakaan Pusat.
“Ini apa.” Aku
menyodorkan STNK milik temanku itu. Sang petugas melihat dengan awas identitas
yang tertera di dalam STNK itu lalu melihat ke arah plat nomor motor temanku.
“Oke.
Silakan.” Sang petugas itu mengembalikan STNK milik temanku.
Fyuh, akhirnya keluar juga, batinku berseru.
“Alhamdulillah,
bisa keluar juga.”
Aku mengangguk
sembari tersenyum lebar menimpali pernyataan temanku.
Mataku kembali
menerawang, mengamati sekitarku. Dan sekejap kemudian, sosok laki-laki dengan
motor skuternya itu pun kembali muncul di hadapan kami. Aku tersenyum simpul.
Namun senyum itu seakan luntur setelah kulihat ada sosok perempuan di belakang
laki-laki itu.
Yogyakarta, 29 Maret 2016
No comments: