Mati Lampu
Sore ini
langit begitu kelabu. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Hawa dingin pun mulai
menyergap tubuhku. Dan tidak perlu menunggu lama lagi, hujan pun turun. Rintik
demi rintik hingga akhirnya menderas. Aku menatap ke arah pintu masuk sekre
yang terbuka lebar, memandangi hujan yang baru datang. Hujan, kau turun lagi, membuatku tidak bisa pulang.
Hujan
semakin menderas, membuatku semakin tidak bisa pulang. Dan terjebak di ruang
sekre bersama beberapa orang teman yang sibuk memainkan keyboard laptop dan ponsel. Sembari menunggu hujan reda, aku pun
mengikuti jejak mereka, mengambil laptop lalu memainkannya.
“Ayo, ikut kajian,” ajak temanku
yang baru saja datang dari lantai bawah.
Lalu kami menutup laptop dan
ponsel masing-masing dan bergegas menuruni anak tangga. Kajian kali ini
bercerita mengenai budaya menuntut ilmu, bahwa pemuda saat ini lebih banyak yang
mengejar sekolah tapi bukan tholabul
ilmi. Kajian yang berlangsung singkat itu membuatku sejenak berpikir
kontribusi apa yang akan kuberikan pada Islam kelak. Namun, hingga hujan reda
aku belum menemukan jawabannya.
“Eh, aku duluan yaa. Assalammualaikum.”
“Waalaikumussalam. Hati-hati di
jalan yaa.” Aku mengangguk.
Selepas kajian hujan telah reda,
lalu aku bergegas pamit pada temanku. Beberapa belas menit lagi adzan Maghrib
akan berkumandang, langkah kakiku semakin kupercepat agar sampai sebelum adzan
berkumandang.
Tin…tin..
Suara
klakson motor terdengar tepat di belakangku. Deru mesinnya semakin melambat dan
semakin menghampiriku. Aku pun semakin memperlambat langkah kakiku.
“Oyy. Mau ikut bonceng gak?” Seorang
perempuan bermasker itu menyapaku.
Aku menatapnya sejenak, menerka
wajahnya. “Oalah, ternyata mbak. Kukira siapa mbak?”
“Ayo naik, keburu Maghrib nanti.”
Setelah yakin bahwa perempuan
itu adalah murabbi-ku, lalu aku naik
di atas motornya, membonceng di belakangnya.
Allahu Akbar…Allahu..Akbar…Allahu…Akbar…
Suara
adzan Maghrib itu berkumandang begitu kami sampai. Kami pun bergegas mengambil
wudhu lalu bersiap menaiki anak tangga. Menuju tempat salat perempuan. Beberapa
menit kemudian, suara iqamah yang
berkumandang. Kami pun segera bersiap masuk ke dalam barisan jamaah salat lalu
merapatkan barisan.
DUARRRR
Tiba-tiba
terdengar suara dentuman yang keras di sekitar masjid. Jantungku seketika
berdegup kencang. Khawatir jika terjadi sesuatu yang buruk. Sesaat kemudian
lampu masjid pun padam. Membuatku semakin khawatir. Rasa takut itu pun mulai
menyelinap dalam diriku.
Usai salat aku menghampiri murabbi-ku yang sedang tidak salat. Dari
arah tempatnya menunggu, kulihat ada beberapa perempuan yang sedang berkerumun.
Membicarakan kejadian yang baru terjadi. Beberapa perempuan yang lain pun
menunjuk ke arah luar. Sebuah kabel listrik lepas dari travo yang terletak
tepat di depan masjid. Desas-desus pun terdengar, bahwa suara dentuman itu
berasal dari travo listrik yang ada di depan masjid tersebut. Kami pun
bertanya-tanya mengapa travo tersebut bisa meledak karena beberapa saat
sebelumnya tidak terdengar suara kilat maupun petir yang menyambar.
Lalu aku dan mbak murabbi-ku kembali ke tempat kami semula
sembari menunggu dua teman kami lainnya. Sesaat kemudian mereka pun datang dan
cukup kaget melihat masjid yang begitu gelap. Mereka semakin kaget saat kami
ceritakan kalau tadi ada travo listrik yang meledak.
Akhirnya kami melakukan liqo petang itu dalam keadaan gelap dan
suasana yang begitu syahdu. Topik yang kami bahas pun memperlengkap suasana
syahdu petang itu, yaitu mengenai kematian. Kematian, sesuatu yang terkadang
kita enggan bahkan takut untuk membahasnya. Walau kita tahu itu akan menimpa
kita.
Tidak terasa satu jam berlalu, liqo kami petang itu pun ditutup seiring
dengan datangnya mobil PLN.
“Wah, kayaknya kosku ikutan mati
lampu deh,” seruku.
Murabbi-ku mengangguk. “Kayaknya iya deh.” Lalu kami bergegas
meninggalkan masjid itu sembari melihat sekilas ke arah petugas PLN yang sedang
membetulkan kabel serta travo listrik.
“Mau nyoba ke kosku dulu atau ke
tempat mbak”, tanya murabbi-ku ketika
kami berada di perempatan kosku.
“Nyoba ke kosku dulu deh.”
Gelap, sepanjang jalan menuju
kosku terlihat begitu gelap. Hanya warung makan serta beberapa rumah yang
menyalakan lilin.
“Kayaknya beneran mati lampu
deh,” ujar sang murabbi-ku. Aku
menggangguk lemah, kini rasa cemasku yang menyelinap. Lalu kami semakin
mempercepat langkah menuju kosku. Dan ya, seperti prediksi kami, kosku pun ikut
mati lampu.
“Yaudah,
ke tempat mbak aja.” Akhirnya kami pun melangkah pergi menuju kontrakan sang murrabi-ku. Mencari tempat untuk
mengungsi.Yogyakarta, 28 Maret 2016
No comments: