Akhir Sebuah Misteri
Masih lanjutan dari Story Blog Tour #1 OneWeekOnePaper yang kece itu. Di putaran kedua kali ini, saya Apriastiana, akan mengakhiri kisah ini. Episode sebelumnya bisa dibaca di:
Episode 1: Pengagum Rahasia – Apriastiana Dian Fikroti
Episode 2: Rencana yang Gagal – Dini Riyani
Episode 3: Buku Penelitian Biru – Mister Izzy
Episode 2: Rencana yang Gagal – Dini Riyani
Episode 3: Buku Penelitian Biru – Mister Izzy
Happy reading! ^^
***
“Kak Rana lagi liat apa sih?”
Aku mendongakkan kepala. Menelan ludah. Kini Karissa berdiri
tepat di depan mejaku. Pandangan matanya segera beralih ke sebuah foto yang
tergeletak di mejaku. Matanya membulat. Menatap lekat foto tersebut. Mencermati
siapa yang ada dalam foto tersebut.
Aku buru-buru mengambil dan menyembunyikan foto tersebut
sebelum Karissa menyadari orang dalam foto tersebut. “Bukan apa-apa kok Kar.”
Aku menggeleng cepat.
“Iya kok Kar, bukan apa-apa. Ini
cuma sampah kok.” Tiba-tiba Tala menyamber foto yang kusembunyikan. Lalu menaruhnya
di tempat sampah kelas.
“Tal…” Aku berteriak. Lirih.
Seperti tertahan. Mataku mendelik pada Tala. Namun, perempuan itu tidak peduli.
Dengan santainya meremas lalu membuang foto tersebut.
“Oh, kirain apa. Duluan ya kak
Rana.” Karissa dan temannya pun berlalu. Sangat percaya pada Tala bahwa foto
tersebut memang sampah.
“Lo apa-apain sih Tal. Maen buang
tuh foto segala.” Seluruh emosi negatifku langsung kutumpahkan pada Tala
setelah memastikan Karissa benar-benar telah berlalu.
Tala hanya nyengir, memperlihatkan seluruh giginya yang rata. Tertawa kecil
padaku. “Maaf deh Ran, tadi kan maksudnya biar Karissa nggak tau kalau orang
dalam foto itu Ardit.
“Tapi nggak gitu juga dong.” Aku
bangkit dari kursiku. Begitu kesal. Bergegas menghampiri tempat sampah yang
berada di sudut kelas. Mengaduk-aduk isi tempat sampah.
“Gila, bau banget…” Aku berseru
sebal saat membuka tempat sampah. Tangan kiriku sibuk memegangi hidung. Sementara
tangan kananku sibuk mengaduk tempat sampah.
“Kasian amat sih kamu Ran.” Tala
tertawa puas melihatku mengaduk-aduk tempat sampah.
“Sialan lo. Mayan dalem juga kamu
buang tuh foto.”
Tawa Tala semakin mengeras.
Aku berseru senang saat foto
tersebut berada dalam genggamanku. Tertawa penuh kemenangan. Hoek. Sedetik kemudian tawaku meredup. Bau
sisa makanan dan sampah plastik menyeruak tajam. Menembus hidungku yang tidak
lagi tertutupi tangan.
Tawa Tala kembali pecah. Mengeras.
Menertawaiku. Aku langsung mendelik padanya. Menatapnya sangat tajam.
***
Aku menatap lekat foto yang telah
terlipat itu. Sepertinya aku mengenali
seragam SMP itu. Aku terus mengaduk seluruh ingatan. Mengambil seluruh
ingatan dari long-term memory-ku.
“Astaga, ternyata aku, Ardit, dan
Dika pernah satu SMP, Tal!!!”
“Seriusan?”
Aku mengangguk cepat. Tersenyum girang.
“Terus maksudnya Dika ngirim foto
ini apa?” Aku kembali diam, memikirkan jawaban atas pertanyaan Tala—dan juga pertanyaanku. Aku kembali
mengaduk memoriku. Selang berapa lama aku mengangkat bahuku. Tidak kenangan
dalam memoriku yang mampu menjawabnya.
“Ah, aku ada ide!”
“Apa Tal?” tanyaku penasaran.
“Gimana kalau kita tanya langsung
ke Dika?”
“Wah, parah. Nggak, nggak mau.”
Entah ada angin apa. Tanpa perlu
dipanggil tiga kali. Dari kejauhan terlihat sosok lelaki bertubuh tinggi-kekar
sedang berjalan melewati koridor kampus. Berjalan dengan gaya so(k) cool. Dan semakin lama semakin mendekati
kami. Tanpa kacamata, lelaki itu hanyalah sebuah siluet abu-abu. Begitu samar. Tanpa
kukenali siapa lelaki tersebut. Aku memandang Tala yang sudah melompat
kegirangan.
“Paan sih kamu Tal?”
“Kamu nggak liat itu siapa?”
Mataku membulat-menyipit. Menggelengkan
kepala cepat.
“Itu Ar…”
“Hey, Rana, Tala.” Suara sosok
lelaki terdengar begitu ramah dan familiar. Membuat kalimat Tala terputus.
“DIKA?!” Aku terlonjak kaget
setelah menyadari siapa sosok laki-laki itu. Dika menatap kami bingung,
tersenyum canggung.
“Bukan apa-apa kok Dik,” kataku. Mengerti sekali arti tatapan Dika.
“Bohong Dik. Ini Tala mau ngomong katanya.” Aku menyikut lengan Tala. Mendelik tajam.
“Jangan percaya Tala, Dik.”
Raut wajah Dika semakin terlihat bingung. Rasa penasaran semakin membuncah. Sebenarnya aku pun ingin bertanya pada Dika. Namun, rasa Maluku dan gengsiku terlampau tinggi untuk sekadar bertanya.
“Soal foto itu ya?”
Aku tercengang. Bagaimana mungkin Dika tahu? Tanyaku dalam hati. Dengan malu-malu aku mengangguk pelan. Tiba-tiba Dika tertawa, begitu puas. Membuatku semakin menunduk malu. Merengut.
“Kamu baru sadar ya Ran, kalau kita satu SMP?”
Aku mengangguk. Tanpa suara. Masih malu.
“Kamu tahu Ran, siapa orang yang dulu sering mengirimimu surat dan kado di lokermu?
Aku menggeleng cepat. “Siapa Dik?”
Dika menggerakkan telunjuk kanannya. Tepat di depan mataku. Perlahan kakinya mulai bergerak. Tanpa banyak bicara jari telunjuknya mengisyaratkanku dan Tala untuk mengikutinya.
“Mau ke mana Dik?” tanyaku begitu penasaran. Namun, Dika masih diam. Tidak mau mengatakan apapun. Aku menghela napas. Pasrah. Menurut saja pada Dika.
“Kok berhenti Dik?” Tala setengah berteriak, hampir saja menabrak Dika.
Dika ber-ssttt, menyuruh Tala untuk diam. Aku terkekeh melihat raut wajah Tala yang langsung cemberut.
“Itu dia.”
Aku menatap lurus ke depan, sejajar dengan jari telunjuk Dika. Aku terkesiap, tertegun sejenak.
“Ardit? Maksudnya?”
“Kamu pura-pura nggak ngerti atau emang nggak ngerti Ran?” Belum sempat kujawab, tangan Tala sudah sigap menjitak kepalaku. Aku merintih. Menjitak balik kepalanya.
“Udah-udah Ran, Tal. Fokus.” Aku dan Tala berhenti saling menjitak. Memasang kuping lebar-lebar. Memasang mata lebar-lebar.
“Kamu tahu Ran, orang yang dulu sering mengirimu surat, mengirimu hadiah hingga lokermu penuh dan sesak adalah Ardit.”
Aku tercengang. “Seriusan Dik?”
Dika mengangguk mantap. “Dan dengan bodohnya kamu ngira yang ngirim semua itu adalah aku.”
“Hah? Kok bisa?”
“Karena waktu itu aku ketahuan sedang membuka lokermu. Padahal saat itu aku ingin mengambil foto itu yang tidak sengaja terselip di salah satu surat itu. Foto itu satu-satunya kenangan yang kumiliki bersama Ardit. Jadi, sebelum pindah rumah aku ingin membawa foto itu. Dan aku sangat panik saat aku dan Ardit menyadari foto itu terselip di salah satu surat.”
Aku tercengang. Tidak percaya dengan semua yang dikatakan Dika. Semua terasa seperti mimpi di siang bolong. Orang yang sejak masuk kuliah ini kukagumi ternyata pernah mengirimiku surat dan kado.
“Ardit…” Lelaki berbaju batik menoleh padaku, begitu pun dengan perempuan di sampingnya. Aku menerka siapa perempuan itu. Karissa?
Laki-laki tersenyum lebar pada Dika. Setengah berlari mulai menghampiri Dika. Jantungku berdegup kencang melihat Ardit yang semakin mendekati kami. Tanganku setengah basah. Kakiku sedikit gemetar. Begitu salah tingkah melihat Ardit sedekat ini. Terlebih setelah mendengar fakta-fakta tentang Ardit.
“Hai Rana!” Ardit tersenyum begitu ramah. Lesung pipinya menambah kadar kemanisannya.
“Hai Ardit!” sapaku malu-malu.
Sementara Dika dan Tala sudah berdeham. Terkekeh melihat kami.
“Kenalin, ini Karissa…saudara sepupuku.”
Aku tercengang. Begitu pun dengan Tala, yang berhenti terkekeh. Dika, Ardit, dan Karissa justru tersenyum geli melihatku dan Tala.
-End-
“Bohong Dik. Ini Tala mau ngomong katanya.” Aku menyikut lengan Tala. Mendelik tajam.
“Jangan percaya Tala, Dik.”
Raut wajah Dika semakin terlihat bingung. Rasa penasaran semakin membuncah. Sebenarnya aku pun ingin bertanya pada Dika. Namun, rasa Maluku dan gengsiku terlampau tinggi untuk sekadar bertanya.
“Soal foto itu ya?”
Aku tercengang. Bagaimana mungkin Dika tahu? Tanyaku dalam hati. Dengan malu-malu aku mengangguk pelan. Tiba-tiba Dika tertawa, begitu puas. Membuatku semakin menunduk malu. Merengut.
“Kamu baru sadar ya Ran, kalau kita satu SMP?”
Aku mengangguk. Tanpa suara. Masih malu.
“Kamu tahu Ran, siapa orang yang dulu sering mengirimimu surat dan kado di lokermu?
Aku menggeleng cepat. “Siapa Dik?”
Dika menggerakkan telunjuk kanannya. Tepat di depan mataku. Perlahan kakinya mulai bergerak. Tanpa banyak bicara jari telunjuknya mengisyaratkanku dan Tala untuk mengikutinya.
“Mau ke mana Dik?” tanyaku begitu penasaran. Namun, Dika masih diam. Tidak mau mengatakan apapun. Aku menghela napas. Pasrah. Menurut saja pada Dika.
“Kok berhenti Dik?” Tala setengah berteriak, hampir saja menabrak Dika.
Dika ber-ssttt, menyuruh Tala untuk diam. Aku terkekeh melihat raut wajah Tala yang langsung cemberut.
“Itu dia.”
Aku menatap lurus ke depan, sejajar dengan jari telunjuk Dika. Aku terkesiap, tertegun sejenak.
“Ardit? Maksudnya?”
“Kamu pura-pura nggak ngerti atau emang nggak ngerti Ran?” Belum sempat kujawab, tangan Tala sudah sigap menjitak kepalaku. Aku merintih. Menjitak balik kepalanya.
“Udah-udah Ran, Tal. Fokus.” Aku dan Tala berhenti saling menjitak. Memasang kuping lebar-lebar. Memasang mata lebar-lebar.
“Kamu tahu Ran, orang yang dulu sering mengirimu surat, mengirimu hadiah hingga lokermu penuh dan sesak adalah Ardit.”
Aku tercengang. “Seriusan Dik?”
Dika mengangguk mantap. “Dan dengan bodohnya kamu ngira yang ngirim semua itu adalah aku.”
“Hah? Kok bisa?”
“Karena waktu itu aku ketahuan sedang membuka lokermu. Padahal saat itu aku ingin mengambil foto itu yang tidak sengaja terselip di salah satu surat itu. Foto itu satu-satunya kenangan yang kumiliki bersama Ardit. Jadi, sebelum pindah rumah aku ingin membawa foto itu. Dan aku sangat panik saat aku dan Ardit menyadari foto itu terselip di salah satu surat.”
Aku tercengang. Tidak percaya dengan semua yang dikatakan Dika. Semua terasa seperti mimpi di siang bolong. Orang yang sejak masuk kuliah ini kukagumi ternyata pernah mengirimiku surat dan kado.
“Ardit…” Lelaki berbaju batik menoleh padaku, begitu pun dengan perempuan di sampingnya. Aku menerka siapa perempuan itu. Karissa?
Laki-laki tersenyum lebar pada Dika. Setengah berlari mulai menghampiri Dika. Jantungku berdegup kencang melihat Ardit yang semakin mendekati kami. Tanganku setengah basah. Kakiku sedikit gemetar. Begitu salah tingkah melihat Ardit sedekat ini. Terlebih setelah mendengar fakta-fakta tentang Ardit.
“Hai Rana!” Ardit tersenyum begitu ramah. Lesung pipinya menambah kadar kemanisannya.
“Hai Ardit!” sapaku malu-malu.
Sementara Dika dan Tala sudah berdeham. Terkekeh melihat kami.
“Kenalin, ini Karissa…saudara sepupuku.”
Aku tercengang. Begitu pun dengan Tala, yang berhenti terkekeh. Dika, Ardit, dan Karissa justru tersenyum geli melihatku dan Tala.
-End-
No comments: