Merajuk pada Ibu
Sore itu, di tengah matahari yang masih terik, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Melempar sepatu dan tas sembarangan. Bergegas menuju dapur, tempat favorit Ibu. Kedua mataku langsung berbinar saat melihat Ibu tengah sibuk menggoreng sesuatu. Memeluknya dari belakang, begitu keras. Seketika Ibu menghentikan aktivitasnya, menoleh ke belakang, menundukkan kepalanya ke arahku.
Ibu justru tersenyum, tidak memarahiku karena telah mengganggunya. “Ada apa Tama?”
“Aku mau kucing, Bu. Aku mau memelihara binatang. Semua teman-teman kelasku punya hewan peliharaan Bu. Cuma aku yang tidak punya,” kataku bersungut-sungut, menarik-narik ujung daster Ibu. Merajuk.
Ibu menggelengkan kepalanya cepat. “Kalau untuk pamer ke teman-temanmu, lebih baik tidak usah memelihara kucing.”
Aku tertegun. Menatap harap pada Ibu. Semakin berseru ingin memelihara kucing. Terus merajuk, semakin kencang menarik ujung daster Ibu. Namun, sia-sia, Ibu tetap pada pendiriannya. Tidak menyetujui aku memelihara kucing.
Sore itu hingga keesokan harinya aku masih memasang muka masam pada Ibu. Menjawab sekenanya ketika ditanya. Memilih diam ketika tidak diajak bicara. Namun, siang ini, usai pulang sekolah, suasana rumah terasa berbeda. Aku seperti mendengar suara asing dari halaman rumah.
“Itu suara apa Bu?” Aku terpaksa mengajak Ibu bicara. Mencoba berdamai dengan Ibu.
Wajah Ibu begitu riang. Tidak langsung menjawab tanyaku, justru mengajakku ke halaman rumah. Aku mengerutkan kening, tidak memahami apa yang Ibu maksud.
“Taraaa!” Ibu berseru. Seekor anak angsa putih kini telah berada di pelukan Ibu.
“Ini angsa untukmu, Nak. Daripada kamu memelihara kucing, lebih baik kamu memelihara ini.”
Aku menatap sebal. Enggan menerima angsa itu.
“Bagaimana kamu ini, katanya ingin memelihara binatang. Ini udah Ibu belikan angsa, kamu malah menolaknya.”
“Kan aku maunya kucing, Bu. Bukan angsa.”
“Tapi dengan memelihara angsa kamu jadi bisa belajar beternak Nak. Bukan hanya memelihara binatang.”
Ibu menjelaskan panjang lebar tentang manfaat memelihara angsa yang lebih bermanfaat dibanding memelihara kucing. Aku mengangguk-angguk, tidak begitu mendengarkan. Tetap tidak mau menerima angsa itu sebagai hewan peliharaanku. Membiarkan Ibu untuk mengurus sendirian.
Keesokan harinya, Ibu benar-benar ingin mengurus angsa itu sendirian. Pagi-pagi sekali sebelum menyiapkan sarapanku, Ibu bergegas ke halaman rumah. Memeriksa kandang angsa itu, membersihkan sisa-sisa kotoran. Lalu menaruh dedak di tempat makanan yang tergantung di samping kandang. Aku menatap tidak acuh dari kejauhan saat tidak sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Sama sekali tidak ingin membantu Ibu. Masih gengsi untuk menerima anak angsa pemberian Ibu.
Dan aktivitas itu pun terus berulang setiap hari. Menambah daftar kegiatan yang harus dilakukan Ibu setiap harinya. Namun, lambat laun aku merasa iba pada Ibu. Merasa malu karena begitu angkuh untuk sekadar membantu Ibu. Dan pagi ini, setelah hampir setengah bulan anak angsa itu tinggal di rumah kami, aku tergerak untuk merawatnya. Lebih tepatnya membantu Ibu, menerima pemberian dari Ibu.
Perlahan aku mulai melangkah menuju halaman rumah. Sedikit ragu, pun malu. Namun, tekadku sudah bulat. Aku tidak ingin menuruti keinginanku untuk memelihara kucing karena teman-teman sekolahku memeliharanya.
“Boleh Tama bantu, Bu?” Aku menggaruk kepalaku, bertanya penuh keraguan.
Ibu yang sedang memberi makan anak angsa itu seketika menoleh. Tersenyum begitu tulus. “Tentu saja boleh, Nak.”
***
***
#MalamNarasi
#supertelat :"
No comments: