#8 Melawan Sakit
Beberapa kali ini aku pernah membahas ini di sini, “saking merasa” selo-nya semester 7, aku mengikuti berbagai kegiatan dan mengambil beberapa amanah. Secara genetik aku memang memiliki keturunan maag, tetapi masih aman-aman saja. Baru bereaksi jika benar-benar telat makan dan setelah makan langsung sembuh tanpa diberi obat. Namun, sejak awal September kemarin si lambung mulai memberontak. Ingin mencuri perhatianku. Kala itu, pertama kalinya aku vomitus atau muntah. Usai workshop skripsi aku bergegas ke GMC. Saat itu, aku ingat sekali kalau sang dokter mengatakan, “...maag-mu sudah kronis.” Dan aku tidak secara detil menanyakannya. Setelah pemeriksaan, aku diberi beberapa obat untuk mengurangi asam lambung dan intensitas vomitus-ku.
Selang dua minggu, saat sore hari aku kembali vomitus, kali itu disertai sedikit darah segar. Aku panik. Bertanya ke berbagai teman yang kuliah di FK. Untungnya mereka bilang tidak apa-apa, belum parah. Dan keesokan harinya aku kembali ke GMC, diperiksa dan dijelaskan penyebab mengapa sampai disertai darah, lalu kembali diberi obat. Dan baru selang seminggu lebih beberapa hari aku kembali vomitus. Kali ketiga di bulan September, aku kembali vomitus, dan seketika membuatku panik, mencari bala bantuan untuk membawaku ke Sardjito. Periksa lagi ke bagian Penyakit Dalam. Sesampainya di sana, aku dan temanku mengantre cukup lama. Hingga sekitar jam 1 baru dilakukan pemeriksaan. Ada beberapa kali penanganan yang tidak kuketahui namanya. Namun, dari situ dokter menyimpulkan bahwa memang ada masalah di bagian pencernaan, terlebih lambung, tetapi tidak tahu penyebab aku sampai muntah darah. Follow-up-nya aku diminta untuk endoskopi. Pemeriksaan yang cukup mengerikan karena memasukkan selang ke dalam tenggorokan dan di ujung selang itu terdapat kamera sehingga tahu kondisi organ pencernaan kita. Akan tetapi, biaya endoskopi cukup mahal jika tidak ada surat rujukan atau menggunakan kartu jaminan kesehatan. Makanya aku sedikit berpikir ulang untuk melakukan itu. Dan sepertinya sejak ini juga aku didiagnosa mengalami GERD (Gastroesophageal Reflux Disease).
Memasuki bulan Oktober, vomitus-ku ternyata tidak berkurang, bahkan semakin bertambah. Awalnya masih dapat kuhitung, dalam seminggu aku vomitus berapa kali dan berarti sudah berapa total vomitus-ku dari bulan September. Namun, semakin sering vomitus, semakin sulit untuk kuhitung kembali. Semakin sering mengonsumsi obat, yang tiap periksa ke GMC, obatnya ada yang berganti jenisnya dan semakin bertambah banyak. Bahkan berbekal resep dari teman yang sedang ko-ass, aku membeli obat di apotek--yang ternyata harganya lumayan. Lalu di kali kesekian aku kembali ke GMC, yang awalnya berniat untuk meminta rujukan untuk endoskopi, baru diketahui bahwa aku juga mengalami ISK (Infeksi Saluran Kencing), yang diperkuat dengan hasil tes urin. Dan aku pun berhasil mendapat surat rujukan, bukan untuk endoskopi tapi untuk pemeriksaan di RSA. Di situ sang dokter menanyakan keluhanku dan melihat hasil tes urin yang kulakukan di GMC. Sang dokter mengatakan bahwa bisa jadi karena efek psikologis aku dapat mengalami GERD ini. Perlu untuk lebih me-manage stres-ku. Usai pemeriksaan sang dokter menulis resep sekaligus menulis di surat rujukan balik bahwa aku harus kontrol lagi minggu depan.
Satu minggu berikutnya aku kembali ke RSA. Aku bilang kalau vomitus-ku sedikit berkurang. Kali ini, selain pemeriksaan biasa, aku juga kembali diminta untuk tes urin dan rekam jantung. Dan alhamdulillah beliau mengatakan bahwa ISK-ku sedikit berkurang hingga tidak perlu dikasih obat antibiotik, jantungku pun normal. Namun, minggu depannya aku diminta untuk kembali kontrol. Entah sejak kontrol itu atau beberapa hari sebelumnya, aku mulai sering bersendawa, walau saat kontrol itu aku tidak mengeluhkannya. Satu hari itu tidak dapat kuhitung berapa kali aku bersendawa, hingga temanku bergurau, “Yas, sendawamu bisa dibuat beat box nih.”
Hilang satu keluhan muncul keluhan yang lain, vomitus-ku sedikit berkurang. Namun, sendawaku semakin bertambah sering. Dan saat intensitas sendawaku berkurang, aku mengalami susah BAB. Di hari kedua aku sulit BAB, aku merasa tidak tahan hingga memajukan jadwal kontrolku yang tadinya Jumat menjadi Kamis. Dan terpaksa bolos kuliah. Kontrol ketiga itu aku ditangani oleh dokter yang berbeda dari dokter yang menanganiku dua kali kontrol kemarin. Seperti biasa sang dokter menanyakan keluhanku, lalu melakukan pemeriksaan. Dan saat itu juga sang dokter memberiku “PR”, yaitu makan pagi, siang, malam, dan ngemil di jam yang sama setiap harinya. Aku mengangguk, antara yakin dan tidak. Dokter itu juga menyarankan untuk makan buah, sayur, dan ya*kult untuk mengatasi susah BAB-ku. Malamnya, usai minum obat--yang memang berefek ngantuk--ternyata membuatku ketiduran dan lupa untuk makan malam.
Hari berikutnya, hari Jumat, aku kembali tidak tahan dengan susah BAB-ku. Membuatku kembali ke GMC untuk periksa. Dan di tengah jalan, aku yang tidak terbiasa berpegangan pegangan belakang motor, tiba-tiba aku terjatuh. Membuatku temanku yang memboncengkanku dan beberapa orang sekitar datang menghampiriku. Menanyakan kenapa aku dapat terjatuh dan kondisiku saat itu. Aku hanya menggeleng sambil nyengir karena memang tidak tahu juga kenapa dapat terjatuh. Setelah merasa tidak apa-apa, aku kembali naik ke atas motor dan pegangan ke pegangan belakang motor. Sesampainya di GMC, aku kembali mengeluhkan yang kurasakan dan sang dokter menyarankanku untuk menghabiskan dulu obat yang diberi dokter sebelumnya dan dia memberiku salep untuk masalah sulit BAB-ku.
Sabtu kemarin menjadi puncak rasa sakit sulit BAB-ku karena hari itu hari keempat aku sulit BAB. Sabtu dini hari perutku begitu sakit, dan bagian d*b*r-ku mengalami sakit yang luar biasa hingga aku terbangun. Aku menggigit bantal untuk mengurangi rasa sakit. Setelah agak reda, aku ingin melakukan berbagai aktivitas, tetapi rasa nyeri dan perih itu kembali melanda. Hampir seharian itu aku merasakan nyeri dan perih yang seperti itu. Bahkan untuk berjalan terasa sakit. Harus pelan-pelan saat berjalan. Bolak-balik ke kamar mandi untuk BAB, tapi tidak bisa. Di kamar mandi hanya merintih kesakitan hingga kepikiran untuk tidak menghadiri dua agenda di sore dan malam hari itu. Namun, sore hari dan malam harinya aku tetap menghadiri dua agenda itu, dan kebetulan dapat pinjaman motor karena malamnya aku menginap di kontrakannya. Tadinya kupikir naik motor will be better dibanding jalan kaki. Ternyata lebih sakit, terutama saat melewati tanggul. Rasanya ingin kutebas semua tanggul yang ada di jalanan.
Minggu paginya, dengan rasa sulit BAB yang masih terasa, aku nekad untuk tetap berangkat ke Solo. JJGJ dengan seorang teman yang baru kukenal. Berharap dopaminku meningkat. Saat itu tidak ada rencana kami akan ke mana hingga dia mengusulkan untuk ke Kebun Teh Kemuning. Perjalanan yang cukup melelahkan di kondisi tubuhku yang seperti itu. Kami pun parkir di sebelah warung makan di sekitar Bukit Teletubbies. Kami menaiki salah satu bukitnya. Mencari spot bagus untuk mengambil foto. Lalu kembali turun saat menjelang Dhuhur. “Yas, beneran deh, jalanmu kayak nenek-nenek,” ujarnya yang berada di belakang. Aku hanya nyengir, “Makasih ya Cu.” Usai turun, tadinya kami ingin ke bukit yang lain. Namun, karena kondisiku yang kurang memungkinkan dan waktu yang semakin siang, kami pun mengurungkan niat itu. Lebih memilih untuk istirahat sejenak sambil berbincang. Setelah itu kami kembali tancap gas untuk kembali Solo. Kembali ke asramanya untuk mengambil barangku yang tertinggal lalu mencari makan siang. Usai makan siang--yang dimakan sekitar jam 4--ternyata membuat perutku nyeri. Bahkan hingga aku tiba kembali di Jogja. Ditambah lagi rasa sulit BAB-ku yang membuatku susah jalan membuatku merasa tidak kuat untuk naik Trans Jogja. Akhirnya kutelepon temanku untuk menjemput. Dan sesampainya di kosku dia yang menyarankanku untuk ke IGD. Dan baru lah Senin paginya kami ke IGD, membuat orangtuaku bergegas ke Jogja. Dan malamnya aku baru dapat mengonsumsi obat yang diberikan sang dokter yang rasanya sungguh perih.
Efeknya, Selasa paginya aku semakin sulit untuk berjalan. Bolak-balik ke kamar mandi tapi tidak dapat BAB. Jalanku sudah seperti orang yang berusia lanjut, harus pelan-pelan karena begitu sakit. Bahkan hingga ibuku yang menuntunku untuk ke kamar mandi, menungguiku di depan kamar mandi. Takut terjadi apa-apa karena aku seringkali lama di kamar mandi hanya untuk merintih kesakitan. Dan setelah mengurus surat rujukan dan perizinan tidak masuk kuliah, aku mengiyakan tawaran untuk kembali pulang yang awalnya kutolak karena banyak agenda di minggu ini.
Setiap kali aku berjalan, dari gerbang stasiun, ruang tunggu, loket pemeriksaan, kamar mandi, mushola, hingga gerbong, semua mata seolah memandangku. Seolah berkata, “Ya Allah, kasihan sekali ini perempuan, masih muda tapi jalannya tertatih gitu. Sampai harus dituntun ibunya segala.”
Dan ya, semua usaha yang kulakukan ini adalah ikhtiar-ku. Obat hanyalah perantara untuk kesembuhanku. Dan ya, sakit ini merupakan ujian bagianku. Ujian agar aku dapat “naik tingkat”, ujian bahwa Allah sayang padaku dan ingin aku lebih dekat dengan-Nya. Dan semoga ini menjadi penggugur dosaku. Laa ba'sa thohuurun InsyaaLlah.
No comments: