#24 Rumah Kita
Saat SMA dulu aku ingin sekali mengambil jurusan Akuntansi. Sampai pada akhirnya temanku memperkenalkanku dengan Psikologi--yang saat itu belum begitu familiar di telingaku--dan tiba-tiba saja aku merasa tertarik dengan ilmu itu. Semakin tertarik saat ada pakar mikroekspresi yang beberapa kali muncul di televisi, membaca gerak tubuh para artis. Namun, setelah menjadi mahasiswa Psikologi ternyata mikroekspresi hanya dibahas sekilas sekali. Itu pun hanya bagian dari bab Hubungan Interpersonal mata kuliah Psikologi Sosial (kalau tidak salah ingat).
Menurutku, setiap jurusan pasti memiliki stereotipnya masing-masing. Terlebih di Psikologi. Stereotip yang paling sering anak-anak Psikologi terima adalah kamu anak Psikologi ya? Pasti bisa baca pikiran sama kepribadian? Baca kepribadianku dong. Rasanya sudah sangat bosan ketika ada orang yang mengatakan itu.
Semakin ke sini, aku menyadari kalau banyak orang yang tertarik dengan Psikologi. Baik yang mengaku kepadaku kalau dulu sempat atau terbesit niat untuk mendaftar Psikologi tetapi pada akhirnya ubah haluan. Maupun orang-orang yang sering mengatakan bahwa dirinya sanguin, melankolis, introvert, ekstrovert. Dan kurasa hal paling menarik dari Psikologi adalah kepribadian. Sebab menurutku pribadi belajar Psikologi sama halnya dengan memperlajari manusia yang begitu kompleks. Sayangnya, buku-buku yang sering nongol di toko buku kebanyakan termasuk psikologi populer, semi ilmiah. Terutama mengenai tipe kepribadian sanguin, melankolis, plegmatis, dan koleris. Padahal di mata kuliah Asesmen Kepribadian Non Proyektif dosenku pernah mengatakan kalau itu sudah tidak dipakai karena tidak ilmiah dari segi penentuan kepribadiannya. Namun, tipe kepribadian introvert-ekstravert masih dianggap ilmiah karena alat ukurnya yang masih valid dan reliabel. Dan aku tertarik sekali dengan introvert-ekstravert hingga terbesit niat untuk menjadikannya tema skripsi tapi tidak jadi.
Tahun keempat di Psikologi aku juga semakin sadar bahwa semakin mempelajari manusia, kita semakin tidak mengerti tentang manusia. Karena kubilang tadi kalau manusia itu kompleks. Kalau kata Bronfebrenner--psikolog perkembangan--bahwa manusia itu dibentuk oleh lima sistem, mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem. Sangat kompleks karena tidak hanya satu aspek yang menjadikan manusia sebagai dia yang sekarang. Apalagi saat menganalisa penyebab seseorang mengidap gangguan ini atau itu.
Hal menarik dari jurusanku adalah penyebutan namanya. Efek PPSMB fakultas yang bernama Psikologi Rumah Kita, terkadang aku dan mungkin anak-anak yang lain juga begitu, memanggil jurusan kami dengan sebutan Psikologi Rumah Kita. Terdengar meneduhkan. Di balik sebutan itu pasti ada harapan kalau jurusan ini menjadi Rumah Kita, rumah bagi para sivitas akademikanya. Rumah Kita yang suatu saat nanti akan kami rindukan.
Setelah mendapat gelar S.Psi nantinya, kami tidak langsung menjadi psikolog. Harus menempuh magister profesi psikologi terlebih dahulu. Mendengar berbagai kasus yang pernah ditangani dosen-dosenku, terkadang membuatku ragu menjadi psikolog. Ragu dengan kemampuan diri sendiri. Ragu kalau aku tidak cukup kuat untuk menampung berbagai cerita atau kasus klienku nanti. Namun, jika akhirnya keraguan itu hilang, aku ingin sekali mengambil Psikologi Klinis atau Psikologi Perkembangan ketika S2 nanti. Soon to be professional. Soon to be (your) future psychologist.
Baca tulisanmu yang mengutip Brofenbrenner ini bikin aku sadar kalau aku udah lama banget "jauh" dari Psikologi :")
ReplyDeleteHai Rias! :3
weh, kok bisa mba? :o
DeleteHai juga mba Nisrina :3
Hai mba akupun sama lulusan SPSI hahaha Tosss *udah gitu ajah* wkwkwk salam kenal mba mampir2 ke blog aku yah :)
ReplyDeleteWah, kalo sekarang ambil S2 Psikologi kah mba? Salam kenal juga mba :D
Delete