Pemula
Memang, untuk mempelajari sebuah bahasa tidak selalu secara langsung mempelajari bahasa tersebut. Bisa melalui berbagai media. Salah satunya melalui lagu. Dan beberapa tahun belakangan ini band-band indie mulai mendapat tempat tersendiri, penggemarnya sendiri. Salah satu yang aku pribadi kagumi dari lagu band indie adalah liriknya yang kaya. Diksi yang dipilih begitu keren dan menambah kosakata Bahasa Indonesia. Jangan tanya kualitas musiknya, banyak band indie yang permainan musiknya keren. Mungkin jauh lebih keren dibanding band yang tidak indie, yang terkadang seragam, konformitas, terlalu mengikuti pasar--yang sebenarnya tidak kupahami pasar mana yang mereka maksud.
Saat booming-nya musik Melayu, banyak band yang konformitas, beralih menjadi band Melayu. Dan mungkin perbedaan yang terlihat antara band indie dan bukan adalah idealismenya. Masing-masing band indie punya warna tersendiri dan warna itu yang terkadang terlihat berbeda dengan band yang sering muncul di televisi. Seperti Banda Neira, Barasuara, dan Payung Teduh. Mereka punya warna tersendiri. Banda Neira dengan liriknya yang begitu puitis dan musiknya yang soft. Barasuara dengan permainan gitar dan drum yang begitu dominan dan keren banget sehingga terdengar begitu keras. Sementara Payung Teduh dengan musik folk-nya plus lirik lagunya yang juga puitis. Sayangnya hingga tulisan ini dirampungkan, Banda Neira telah memutuskan untuk bubar. But, #TerimakasihBandaNeira.
Selain band indie, di dunia buku pun sudah menjamur penerbit indie atau self-publisher. Pun banyak penulis yang lahir melalui jalur itu. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak self-publisher yang ada, juga penulis-penulis yang lahir dari self-publisher. Termasuk beberapa komunitas/organisasi kepenulisan yang memilih jalur indie/self-publisher ini. Dari segi kualitas, tulisan mereka tidak dapat dipandang sebelah mata. Beberapa di antaranya telah memiliki gaya menulis dan pembacanya sendiri.
Dari pengalaman yang pernah kualami saat mengunjungi tiga penerbit mayor, untuk menerbitkan satu buah buku membutuhkan waktu yang cukup panjang. Penerbit sendiri mendapat banyak kiriman naskah setiap harinya, sementara editor yang ada jarang sekali yang lebih dari lima (masing-masing untuk fiksi dan non fiksi). Jadi, tidak heran jika penulis apalagi penulis pemula harus menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapat kabar dari penerbit. Bisa dua hingga enam bulan, tergantung penerbit. Itu pun tidak selalu mendapat kata "iya, naskah Anda diterima". Bisa sudah menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapat penolakan. Ya itulah perbedaan yang paling terlihat antara menerbitkan buku di penerbit mayor atau self-publishing.
Di penerbit mayor atau penerbit yang sudah mempunyai nama, kita tidak perlu mengerluakan uang banyak untuk mencetak buku. Namun, kita harus rela menanti jawaban penerbit selama berbulan-bulan. Sementara di penerbit indie kita yang mengeluarkan uang banyak untuk mencetak buku kita. Dari segi distribusi dan promosi, penerbit mayor sudah mempunyai tempat di berbagai toko buku dan penerbit itu jugalah yang mempromosikan buku kita. Sementara penerbit indie, kebanyakan dijual secara online, tidak dipasarkan di toko buku. Promosinya pun penulis sendiri yang melakukan. Walau beberapa penerbit indie ada juga yang memfasilitasi promosi buku dan memasarkannya di toko buku.
Dari segi jenis tulisan, penerbit mayor sudah memiliki cirinya sendiri. Penerbit A menerima novel religi, penerbit B hanya menerima novel komedi. Penerbit C hanya menerima novel, sementara di penerbit D hanya menerima buku non fiksi. Jadi ya, sebagai penulis seharusnya tahu jika dia ingin menulis non fiksi atau fiksi, penerbit yang disasar penerbit yang mana. Pun saat menulis fiksi, mau menulis novel atau cerita pendek atau prosa atau puisi, dan bergenre yang seperti apa. Fantasi, religi, atau romansa. Aku pernah mempresentasikan naskah novelku ke suatu penerbit mayor, tepat di depan tiga editor (dua fiksi, satu non fiksi) dan teman-temanku. Naskah novelku bisa dikategorikan teenlit, tentang anak SMA yang suka tawuran tetapi pada akhirnya bertaubat. Saat aku selesai presentasi, salah satu editor bertanya padaku novelku ditujukan untuk pembaca yang seperti apa dan apa yang menjadi kelebihan novelku dibanding novel sejenis lainnya. Dia juga menyarankanku untuk menambah bumbu cinta ke dalam novelku karena kalau konflik utamanya tawuran jarang sekali, bahkan dipastikan tidak ada yang membaca. Mendengar itu aku mengerutkan dahi begitu kencang. Ternyata harus sebegitu dipikirkan ya?
Dari situ aku jadi lebih paham kalau untuk membuat satu buah novel harus dipikirkan target pembaca kita siapa. Maka tidak heran kalau penerbit mayor sangat memperhatikan pasar. Dan terkadang inilah yang menjadi pertentangan antara penerbit dan penulis, idealisme. Apalagi novel, masing-masing penulis pasti memiliki tujuan tersendiri dari novel yang dibuatnya. Ingin menyampaikan sesuatu dalam tulisannya. Jika apa yang diminta penerbit, kurang sesuai bahkan jauh dari tujuan sebenarnya novel itu dibuat, what should we do? Kalau mau diterbitkan di penerbit mayor, sebaiknya ikuti apa yang diminta. Kalau tetap kukuh dengan isi novel, sebaiknya ambil jalur indie atau self-publishing. Dari situ juga aku berpikir ulang apa tujuanku menulis.
Kemarin juga pernah dibahas oleh dua temanku di komunitas menulis tentang self-publishing dan penerbit mayor. Di antara mereka, dua penulis kece yang telah menerbitkan buku, serasa butiran debu yang sekali tiup langsung menghilang. Aku yang duduk di bangku belakang mobil menyimak pembicaraan mereka dengan saksama. Hanya sesekali ikut menimpali. Mereka bilang kalau penulis pemula memang susah untuk menembus penebit mayor. Beda kalau 'sudah punya nama', lebih cepat ditanggapi. Bahkan ditawarin buat menulis. Bagi penulis pemula, self-publisher bisa menjadi alternatif buat menerbitkan buku sendiri. Walau cukup menguras kantung. Self-publisher juga menjadi loncatan untuk ke penerbit mayor. Setidaknya jika telah menerbitkan buku, walau self-publishing, bisa menjadi bahan pertimbangan penerbit mayor jika kita ingin menawarkan naskah kembali ke penerbit mayor. Lalu jika buku telah terbit, sebagai penulis pemula harus sering mempromosikan buku tersebut. Sekalipun diterbitkan di penerbit mayor. Dan yang terpenting kita harus yakin dan percaya diri dengan tulisan kita sendiri walau masing-masing orang memiliki penilaian yang berbeda tentang tulisan kita.
Ya, cukup nyesek juga kalau ada yang tanya novelmu gimana, udah terbit? Mana bukumu? Kapan bukumu terbit? Serasa ingin menenangkan diri sendiri, mohon bersabar, ini ujian. Ujian dari Allah. Ini adalah perjuangan. Mohon ditahan emosinya.
Dan, ya, yang penting jangan lupa untuk menulis. Jangan berhenti menulis. Sebab dari menulis aku semakin banyak belajar tentang Bahasa Indonesia. So, keep writing! Semoga segala target menulis di tahun ini dapat terwujud.
Dari pengalaman yang pernah kualami saat mengunjungi tiga penerbit mayor, untuk menerbitkan satu buah buku membutuhkan waktu yang cukup panjang. Penerbit sendiri mendapat banyak kiriman naskah setiap harinya, sementara editor yang ada jarang sekali yang lebih dari lima (masing-masing untuk fiksi dan non fiksi). Jadi, tidak heran jika penulis apalagi penulis pemula harus menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapat kabar dari penerbit. Bisa dua hingga enam bulan, tergantung penerbit. Itu pun tidak selalu mendapat kata "iya, naskah Anda diterima". Bisa sudah menunggu berbulan-bulan hanya untuk mendapat penolakan. Ya itulah perbedaan yang paling terlihat antara menerbitkan buku di penerbit mayor atau self-publishing.
Di penerbit mayor atau penerbit yang sudah mempunyai nama, kita tidak perlu mengerluakan uang banyak untuk mencetak buku. Namun, kita harus rela menanti jawaban penerbit selama berbulan-bulan. Sementara di penerbit indie kita yang mengeluarkan uang banyak untuk mencetak buku kita. Dari segi distribusi dan promosi, penerbit mayor sudah mempunyai tempat di berbagai toko buku dan penerbit itu jugalah yang mempromosikan buku kita. Sementara penerbit indie, kebanyakan dijual secara online, tidak dipasarkan di toko buku. Promosinya pun penulis sendiri yang melakukan. Walau beberapa penerbit indie ada juga yang memfasilitasi promosi buku dan memasarkannya di toko buku.
Dari segi jenis tulisan, penerbit mayor sudah memiliki cirinya sendiri. Penerbit A menerima novel religi, penerbit B hanya menerima novel komedi. Penerbit C hanya menerima novel, sementara di penerbit D hanya menerima buku non fiksi. Jadi ya, sebagai penulis seharusnya tahu jika dia ingin menulis non fiksi atau fiksi, penerbit yang disasar penerbit yang mana. Pun saat menulis fiksi, mau menulis novel atau cerita pendek atau prosa atau puisi, dan bergenre yang seperti apa. Fantasi, religi, atau romansa. Aku pernah mempresentasikan naskah novelku ke suatu penerbit mayor, tepat di depan tiga editor (dua fiksi, satu non fiksi) dan teman-temanku. Naskah novelku bisa dikategorikan teenlit, tentang anak SMA yang suka tawuran tetapi pada akhirnya bertaubat. Saat aku selesai presentasi, salah satu editor bertanya padaku novelku ditujukan untuk pembaca yang seperti apa dan apa yang menjadi kelebihan novelku dibanding novel sejenis lainnya. Dia juga menyarankanku untuk menambah bumbu cinta ke dalam novelku karena kalau konflik utamanya tawuran jarang sekali, bahkan dipastikan tidak ada yang membaca. Mendengar itu aku mengerutkan dahi begitu kencang. Ternyata harus sebegitu dipikirkan ya?
Dari situ aku jadi lebih paham kalau untuk membuat satu buah novel harus dipikirkan target pembaca kita siapa. Maka tidak heran kalau penerbit mayor sangat memperhatikan pasar. Dan terkadang inilah yang menjadi pertentangan antara penerbit dan penulis, idealisme. Apalagi novel, masing-masing penulis pasti memiliki tujuan tersendiri dari novel yang dibuatnya. Ingin menyampaikan sesuatu dalam tulisannya. Jika apa yang diminta penerbit, kurang sesuai bahkan jauh dari tujuan sebenarnya novel itu dibuat, what should we do? Kalau mau diterbitkan di penerbit mayor, sebaiknya ikuti apa yang diminta. Kalau tetap kukuh dengan isi novel, sebaiknya ambil jalur indie atau self-publishing. Dari situ juga aku berpikir ulang apa tujuanku menulis.
Kemarin juga pernah dibahas oleh dua temanku di komunitas menulis tentang self-publishing dan penerbit mayor. Di antara mereka, dua penulis kece yang telah menerbitkan buku, serasa butiran debu yang sekali tiup langsung menghilang. Aku yang duduk di bangku belakang mobil menyimak pembicaraan mereka dengan saksama. Hanya sesekali ikut menimpali. Mereka bilang kalau penulis pemula memang susah untuk menembus penebit mayor. Beda kalau 'sudah punya nama', lebih cepat ditanggapi. Bahkan ditawarin buat menulis. Bagi penulis pemula, self-publisher bisa menjadi alternatif buat menerbitkan buku sendiri. Walau cukup menguras kantung. Self-publisher juga menjadi loncatan untuk ke penerbit mayor. Setidaknya jika telah menerbitkan buku, walau self-publishing, bisa menjadi bahan pertimbangan penerbit mayor jika kita ingin menawarkan naskah kembali ke penerbit mayor. Lalu jika buku telah terbit, sebagai penulis pemula harus sering mempromosikan buku tersebut. Sekalipun diterbitkan di penerbit mayor. Dan yang terpenting kita harus yakin dan percaya diri dengan tulisan kita sendiri walau masing-masing orang memiliki penilaian yang berbeda tentang tulisan kita.
Ya, cukup nyesek juga kalau ada yang tanya novelmu gimana, udah terbit? Mana bukumu? Kapan bukumu terbit? Serasa ingin menenangkan diri sendiri, mohon bersabar, ini ujian. Ujian dari Allah. Ini adalah perjuangan. Mohon ditahan emosinya.
Dan, ya, yang penting jangan lupa untuk menulis. Jangan berhenti menulis. Sebab dari menulis aku semakin banyak belajar tentang Bahasa Indonesia. So, keep writing! Semoga segala target menulis di tahun ini dapat terwujud.
Kalau self publishing gimana yah? Saya juga pengen banget nerbitini buku, tapi masih bingung penerbit mana yang mau nerima.
ReplyDeletekalo self-publisher mah gak pake seleksi mas, hehe. Tinggal ngikutin aja tarifnya sana berapa. Self-publisher yang udah terkenal itu macam Nulis Buku, Indie Book Corner, sama Kekata Publisher
Delete