Your Future Psychologist
Berbicara tentang masa depan
sepertinya tidak dapat terlepas dari cita-cita masa kecil dan pekerjaan usai
lulus kuliah. Di dunia ini banyak sekali pekerjaan, tinggal bagaimana kita
dapat memilihnya sesuai dengan kemampuan dan minat kita. Pun kita dapat menciptakan
lapangan pekerjaan, entah itu berskala kecil atau besar. Seorang teman yang
juga seorang CEO pernah berkata bahwa
kita tidak perlu membuat embel-embel ‘socialpreneur’
dalam startup yang kita buat sebab
menciptakan pekerjaan itu sendiri sudah merupakan ‘hal yang sosial’.
Kembali ke cita-cita masa kecil. Aku
punya berbagai macam cita-cita. Mulai dari yang terlihat tidak realistis hingga
yang saat itu aku sama sekali tidak ketahui, tapi karena seorang teman aku jadi
mencita-citakan pekerjaan tersebut. Mulai dari astronot hingga wartawan.
Semakin bertumbuhnya diri ini, semakin berkembangnya diri ini, serta semakin
bertambahnya wawasan yang kumiliki, perlahan cita-cita masa kecilku memudar dan
menghilang. Bahkan berganti dengan cita-cita yang baru. Sejak kelas 2 SMP aku
ingin menjadi akuntan. Lagi-lagi ini karena orang lain, kali ini karena guru
les Bahasa Inggris-ku. Rasa optimisku akan cita-cita masa SMP-ku tersebut
semakin menguat ketika kelas 2 SMA aku masuk jurusan IPS. Namun, sejak memasuki
masa putih abu-abu—dan untuk kesekian kalinya karena orang lain—aku mulai
tertarik dengan hal lain, yaitu Psikologi. Terlebih saat itu aku sering melihat
pakar mikroekspresi di televisi yang lihai membaca gerak tubuh dan mimik wajah
seseorang. Jadilah kebimbangan dalam diriku untuk menentukan jurusan ketika
akan lulus SMA.
Saat itu tekadku untuk menjadi
mahasiswa Akuntansi dan nantinya menjadi akuntan masih kuat. Maka karena alasan
tersebut dan pertimbangan lainnya, aku menetapkan jurusan Akuntansi di pilihan
pertama dan jurusan Psikologi di pilihan kedua. Hasilnya, aku diterima di
pilihan kedua, yaitu Psikologi. Walau awalnya aku merasa ingin pindah jurusan,
tetapi lambat laun aku mulai menyukai Psikologi. Berawal dari sini jugalah aku
mulai mengembangkan passion-ku, yaitu
menulis. Berawal dari sini jugalah aku kembali mencita-citakan cita-cita masa
kecilku, menjadi wartawan. Namun, berawal dari sini juga, semakin mempelajari
Psikologi, aku semakin ragu untuk menjadi psikolog.
Aku pernah bercerita ke beberapa orang
bahwa banyak hal yang ingin kulakukan usai lulus kuliah nanti. Dan menjadi
psikolog berada di urutan paling terakhir. Urutan awal ditempati oleh
keinginanku menjadi jurnalis atau wartawan. Aku ingin sekali mencicipi dunia
jurnalistik yang sesungguhnya, yang ‘profesional’ sembari mengumpulkan uang
untuk melanjutkan S2. Aku juga ingin menjadi penulis. Pun ketika ditanya ingin
mengambil jurusan apa ketika S2 aku mengatakan ingin mengambil jurusan
Komunikasi yang berfokus di media massa. Baru jika masih ada keinginan untuk
menjadi psikolog aku ingin mengambil Psikologi Perkembangan atau Psikologi
Klinis. Pikirku jika nantinya teman
hidupku tidak mengizinkanku untuk bekerja di luar rumah, aku dapat membuka
praktek di rumah. Hal lainnya yang ingin kulakukan usai lulus kuliah adalah
membuka warung makan sehat bergizi mengingat diri ini yang kesulitan memilih
menu makanan dan minuman. Aku ingin membuat warung makan yang tidak menggunakan
lada sebagai bahannya. Pun tidak ada menu sambal, coklat, kopi, mie, soda,
makanan bersantan, dan jus buah yang rasanya asam. Namun, setelah kusampaikan
ke beberapa teman, sepertinya hal tersebut sulit untuk dilakukan. Kalau kayak gitu, emang ada yang mau beli
Yas? tanya mereka.
Salah satu hal yang membuatku ragu
untuk menjadi psikolog adalah kapasitas diriku sendiri. Aku merasa tidak capable untuk menampung semua keluh
kesah klienku nanti. Pun aku merasa rentan mengalami depresi walau alhamdulillah-nya hal tersebut belum
terbukti benar. Namun, aku merasa belum cukup siap untuk menghadapi stressors yang ada di sekitarku. Aku perlu
‘menyembuhkan’ diriku sendiri sebelum menyembuhkan orang lain. Terlebih banyak
stereotip, banyak label yang diberikan kepada mahasiswa Psikologi. Selain ‘kamu bisa menjadi pikiran dan kepribadian’,
ada stereotip lain terhadap mahasiswa Psikologi. ‘Wah, mahasiswa Psikologi bisa stres juga ya?’ juga ‘lah, itu mbak-nya anak Psikologi, harusnya
bisa dong mengatur stresnya sendiri’. Hal ini sering dikatakan oleh
beberapa teman dan dokter-dokter yang menanganiku dan tahu kalau aku anak
Psikologi. Rasanya ingin kusumpal telingaku dengan kapas agar tidak mendengar
suara-suara mereka.
Kata beberapa dosen yang juga seorang
psikolog sering mengatakan, “Psikologi itu untukmu, bukan untukku.” Kamu bisa jadi psikolog untuk orang lain,
tapi kamu tidak bisa menjadi psikolog untuk dirimu sendiri. Padahal menurutku
sebelum menjadi psikolog, setidaknya kita dapat satu langkah lebih baik dibanding
klien kita nanti. Dan ya, dengan begitu psikologi
tidak hanya untukmu, tetapi juga untukku. Semakin bertambahnya semester,
keinginan menjadi psikolog seakan muncul dan menghilang, terbit dan tenggelam.
Terkadang meragu, terkadang sangat yakin. Namun, salah satu hal yang membuat
keinginanku menjadi psikolog tidak memudar ketika fisioterapisku bercerita
bahwa di RS Dr. Sardjito yang termasuk rumah sakit masih kekurangan psikolog. Pikirku,
kalau rumah sakit sebesar itu saja masih kekurangan psikolog, apalagi rumah
sakit lain? Jadi, kalau ditanya apa cita-citaku sekarang? Aku akan mengatakan
bahwa aku ingin menjadi psikolog di rumah sakit. I will be your future psychologist.
***
Sumber gambar: di sini
No comments: