Menyontek, Bukanlah Sebuah Budaya
“When students cheat on exams, it’s because our school system values grades more than students value learning.”-Neil deGrasse Tyson
Ketika
di bangku sekolah dan kuliah, kita seringkali mendengar kalimat peringatan
“Jangan menyontek saat ujian berlangsung.” Ya, menyontek seakan telah menjadi
‘budaya’ di negeri ini. Teman-teman kita, bahkan mungkin kita sendiri pernah
melakukan hal tersebut ketika ujian berlangsung. Baik secara diam-diam melirik
jawaban teman di samping, atau secara terang-terangan meminta jawaban. Bahkan
ada pula yang begitu berani membawa kertas sontekan. Namun, perilaku menyontek
ini sebenarnya tidak hanya terjadi ketika ujian berlangsung, tetapi juga dapat
terjadi dalam pembuatan tugas.
Perilaku
menyontek ini erat kaitannya dengan kemalasan kita—sebagai (maha)siswa—dan
sistem sekolah atau perguruan tinggi. Terkait dengan kemalasan, sifat tersebut
seringkali sulit dihilangkan, seakan telah mendarah daging dalam diri sebagian
(maha)siswa. Kita begitu malas mengerjakan tugas, begitu malas untuk belajar.
Namun, kita seakan dituntut untuk memperoleh nilai yang baik dalam setiap
pelajaran atau mata kuliah. Terutama ketika di bangku sekolah, tuntutan untuk
memperoleh nilai yang baik itu terasa sekali. Kemalasan yang kita miliki
menjadi bumerang untuk kita sendiri. Kita ingin belajar tapi malas, tapi ingin
memperoleh nilai yang baik. Kalau tidak dapat disebut sebagai nilai yang tinggi
karena ‘tuntutan’ dari sekolah atau perguruan tinggi. Alhasil, kita ‘menemukan’
jalan pintas untuk memperoleh nilai yang baik tersebut, yaitu dengan menyontek.
Kita menyontek tugas teman, kita menyontek jawaban teman ketika ujian
berlangsung.
Terkait
dengan sistem sekolah atau perguruan tinggi, beberapa instansi pendidikan
tersebut disadari atau tidak, sering menuntut (maha)siswanya untuk memperoleh
nilai yang baik. Beberapa instansi pendidikan tersebut mungkin akan
menyangkalnya. Namun, faktanya beberapa sekolah atau perguruan tinggi masih
mementingkan sebuah nilai akademik, ketimbang proses belajar (maha)siswanya.
Ya, fakta lainnya nilai memang menjadi tolak ukur yang mudah untuk mengetahui
pemahaman (maha)siswa dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Padahal untuk
menentukan nilai akhir (maha)siswa tidak hanya dari nilai ujian tetapi juga
dari aspek lainnya. Walaupun beberapa sekolah atau perguruan tinggi hanya
menggunakan nilai ujian dan nilai tugas dalam pembuatan nilai akhir.
Dalam
beberapa kasus yang kulihat sendiri ketika di bangku sekolah, banyak
teman-temanku—terkadang termasuk aku—beramai-ramai mengelilingi seorang teman
untuk menyontek tugas yang diberikan guru. Bahkan ada yang rela berangkat
pagi-pagi sekali untuk mendapat sontekan tersebut. Pun ketika ujian
berlangsung, suasana yang seharusnya tenang perlahan terdengar gaduh. Hanya
menit-menit awal ketenangan itu berlangsung. Menit-menit selanjutnya terdengar
suara bisikan. Kucari suara itu hingga mendapati seorang teman yang sedang
memberikan kode kepada teman di sebelahnya. Bukan hanya berbisik tetapi juga
melirik ke arah teman sebelahnya tersebut. Aku hanya berdecak ketika
melihatnya. Menit selanjutnya terdengar suara gesekan kertas. Kulihat seorang
teman sedang diam-diam mengambil secarik kertas dari mejanya. Sesekali matanya
menghadap ke depan, memastikan pengawas ujian tidak melihat aksinya. Lalu
kembali menunduk, mencari jawaban dalam secarik kertas. Lalu tersenyum riang,
menyalinnya ke lembar jawaban ujian. Lagi-lagi aku hanya berdecak. Sementara
aku berusaha semampuku untuk tidak melakukan hal seperti mereka. Walau tanganku
begitu gemetar karena tidak mampu menjawab.
Dan
ya, terjadinya perilaku menyontek tersebut tidak selalu si pelaku yang
disalahkan. Terlebih jika sistem pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi
masih terpaku pada nilai akademik semata. Pun sebagai (maha)siswa tidak dapat
mengambinghitamkan sistem pendidikan jika perilaku menyontek tersebut berakar
dari diri sendiri. Dengan demikian, perilaku menyontek itu dapat dihilangkan
jika sistem pendidikan dan kemalasan (maha)siswa dapat diatasi dengan baik. Pun
perilaku menyontek itu tidak lagi menjadi ‘budaya’ negeri ini.
*
Sumber gambar: di sini
Ini sebenernya soal sistem, yang mana jika anak dapet nilai tinggi akan di elu-elukan, sistem dimana jika dapet nilai tinggi adalah segalanya. Sekolah bukan soal itu, sekolah itu soal bagaimana seorang siswa dididik untuk menjadi anak yang berpendidikan. That's it. Nilai mah bonus
ReplyDeleteNah, iya. Bener banget, setuju sih kalo itu.
Delete