Ramadhan Keempat di Perantauan
Tahun ini adalah Ramadhan pertamaku dengan segala yang kualami hampir sembilan bulan terakhir. Keadaan yang membuatku terlihat ‘ribet’ dengan permasalahan makanan dan wejangan dari para dokter yang harus kupatuhi--walau sering kulanggar. Dan sejak menjadi mahasiswa perantauan, mencari menu berbuka puasa gratis di masjid seperti sebuah keharusan. Namun, kali ini aku harus selektif memilihnya. Membuatku merasa dilematis karena ingin kajian di masjid A tapi ternyata menunya tidak bersahabat denganku.
Ramadhan tahun pertama dan kedua biasanya kuhabiskan di Masjid Kampus. Namun, tahun ini, setelah melihat menu yang sepertinya akan tidak bersahabat denganku, aku selalu mengurungkannya. Walau sebenarnya kajian menjelang berbukanya menarik. Pada akhirnya aku memilih masjid yang lain. Dan ternyata masjid-masjid tersebut menghidangkan menu buka puasa yang tidak bersahabat dengan lambungku. Membuatku merasa dilematis antara menghabiskannya akan tidak. Walau nantinya akan berakhir sama, terbuang. Ya, barangkali aku memang harus menuruti wejangan ngawur ketua gengku untuk membawa bekal sendiri ke masjid yang akan kudatangi kajiannya. Pun saat berbuka bersama teman-temanku aku merasa aneh ketika mereka dapat langsung melahap makanan yang ada. Sementara aku harus menenggak sukralfat dan salah satu anggota keluarga prazole lainnya. Dan semakin tidak nyaman ketika semua mata seolah tertuju padaku ketika aku menenggaknya.
Delapan hari Ramadhan rasa-rasanya aku merasa bersalah dengan semua makanan dan minuman yang hanya singgah sementara di organ pencernaan. Kesedihan lainnya dari segala yang kualami hampir sembilan bulan terakhir ini bukan vomitus yang sering kualami, tetapi ketika si asam tiba-tiba naik tanpa kusadari hingga membuat dadaku terasa sesak. Dan kala pikiranku sedang ngawur, beberapa kali aku ingin diopname saja agar ada caregiver yang mengatur pola makanku. Setidaknya membuatku tidak terlalu sering vomitus.
Ah, ya, aku vomitus pun sebenarnya orang-orang tidak akan ada yang tahu kecuali jika aku memberitahunya. Walau, ya, ‘berpura-pura’ kuat itu tidak enak saat diri ini memang tidak sedang kuat. Namun, karena segala yang kualami hampir sembilan bulan terakhir ini aku memang belajar banyak sekali tentang esensi sabar dan syukur yang memang sulit untuk dilakukan. Bersabar akan kondisi yang sedang dialami sekarang dan bersyukur atas apa yang telah Allah beri. Bersyukur karena masih diberi umur untuk lebih banyak berbuat kebaikan. Bersyukur karena organ lain masih berfungsi dengan baik.
Dan ya, gara-gara segala yang kualami hampir sembilan bulan terakhir aku sering bilang ke teman-temanku untuk menjaga tubuh mereka. Karena terus-menerus minum obat dan memiliki banyakan pantangan itu tidak enak. Fase ups and downs, pasti akan selalu ada. Tinggal bagaimana tidak membuat semuanya semakin memburuk. “....be patient and strengthen your patience.” (Q.S 3:200)
kamu udah ga dijogja? udah lulus ya,,,
ReplyDelete