Berkendara di Jalanan
Hari ke #18
Di antara sekian banyak mekanisme pertahanan, mungkin aku paling sering melakukan represi ketika ada masalah atau sesuatu yang mengganjal. Namun, ada beberapa hal yang lebih baik untuk diluapkan dibanding "sekadar" direpresi. Cara yang paling sering kulakukan adalah menulis. Akan tetapi, jika masalah atau sesuatu yang mengganjal tersebut kurasakan ketika sedang berada di luar, aku akan "meluapkannya" di jalanan. Memacu motor dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya, naik motor lebih serampangan dan tidak beraturan dari biasanya.
Di antara sekian banyak mekanisme pertahanan, mungkin aku paling sering melakukan represi ketika ada masalah atau sesuatu yang mengganjal. Namun, ada beberapa hal yang lebih baik untuk diluapkan dibanding "sekadar" direpresi. Cara yang paling sering kulakukan adalah menulis. Akan tetapi, jika masalah atau sesuatu yang mengganjal tersebut kurasakan ketika sedang berada di luar, aku akan "meluapkannya" di jalanan. Memacu motor dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya, naik motor lebih serampangan dan tidak beraturan dari biasanya.
Selain itu, aku merasa agresivitasku sedang disalurkan jika sedang mengendarai motor. Mungkin karena di keseharianku, aku sulit mengekspresikan emosi, terutama emosi negatif. Seperti sedih dan marah. Aku harus menunggu tidak ada orang dulu baru bisa menangis. Kecuali jika aku sedang mencurahkan perasaanku ke orang terdekat. Pun aku bukan orang yang bisa marah ke orang lain. Sebab jika aku marah, aku yang justru merasa bersalah dan tidak enak hati ke orang tersebut.
Padahal aku tahu, ketika berada di jalanan, aku sering merasa kalau jalanan itu terlihat menyeramkan. Entah ketika sedang mengendarai motor, menyeberang, atau berada di dalam Trans Jogja. Namun, yang paling terasa yaitu ketika sedang mengendarai motor. Sebab atmosfer jalanan yang mencekam akan begitu terasa.
Bagaimana banyak orang--termasuk aku--mengendari kendaraan dengan begitu serampangan. Memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, menyalip ke sana-ke mari dengan seenaknya, belok ke kanan atau kiri tanpa menyalakan lampu sein. Pun terlihat kurang sabaran, terlebih ketika berada di persimpangan dan langkah kendaraan terhenti karena lampu merah. Seringkali akan terdengar bunyi klakson dari mobil atau motor di sekitar, seolah pertanda untuk mempercepat langkah. Padahal kondisi jalanan sedang begitu padat. Atau banyak juga pengendara yang tidak sabar menunggu pergantian lampu merah ke lampu hijau. Tinggal 20 detik saja lampu berganti hijau, sudah ada yang mengklakson, sudah ada yang menerabas marka jalan--melaju kencang seenaknya. Aku sering menemui hal tersebut. Bahkan mungkin secara tidak sadar aku pun pernah--atau sering--melakukannya.
Jika perilaku berkendaranya seperti itu, tidak mengherankan jika banyak kecelakaan. Bu Bos pernah berkata kalau ketika sedang dibonceng naik motor, beliau menganggap hal tersebut sebagai sebuah jihad. Sebab kita tidak pernah tahu apakah akan sampai di jalanan dengan selamat atau tidak. Sebab, seringkali ketika kita sudah berhati-hati dan taat berkendara, justru orang lain yang lalai untuk berhati-hati.
Bagaimanapun, dari jalanan aku belajar banyak hal. Untuk lebih sabar dan taat dalam berkendara. Untuk tidak mengedepankan emosi negatif, menganggap hanya kita seorang yang melalui jalan tersebut. Pun untuk tidak ragu dan bertindak cepat dalam mengambil keputusan. Apakah kita akan berjalan lurus atau belok ke kanan. Apakah akan mengurangi atau menambah gigi. Apakah kita bisa melewati jalan ini.
No comments: