Menunggu, Menjemput, dan Memandang dari Banyak Sisi
Hari ke #5
Hampir sebulan belakangan ini aku memiliki kebiasaan baru. Menelusuri pengiriman buku yang aku dan teman-teman pesan di Gramedia ketika Hari Belanja Online (Harbolnas) kemarin. Menunggu dan terus menunggu sejauh mana buku itu sampai. Aku begitu antusias ketika buku yang kami pesan telah sampai di stasiun ekspedisi yang digunakan Gramedia. Namun, dari tiga waybill yang dikirim dan berstatus unbagging at destination, hanya satu paket yang telah mendarat di kantor. Dua lainnya masih belum berubah status meski tahun telah berganti.
Lalu kemarin, bermula dari WhatsApp story seorang kawan yang mengabarkan kalau buku yang dipesan di toko buku tersebut dapat diambil langsung. Dan ternyata stasiun ekspedisinya tidak jauh dari kantorku. Aku pun begitu antusias ketika akan mengambil buku yang kami pesan tersebut. Setibanya di sana, aku cukup kaget karena banyak sekali paket yang menunggu untuk dikirim, bukan hanya kiriman dari Gramedia. Sembari pegawai stasiun ekspedisi tersebut mengambilkan buku kami, aku mengobrol singkat dengan salah seorang pegawai yang mengurus data pengiriman. Dari obrolan itu, kutahu kalau kantor itu merupakan stasiun penyimpanan barang-barang yang dikirim oleh ekspedisi yang digunakan Gramedia ketika Harbolnas kemarin. Pun mereka sedikit kekurangan tenaga untuk mengurus pengiriman.
Dari situ tiba-tiba aku mendapat banyak insight atau AHA--kalau kata Bang Aad (Adriano Rusfi). Pertama, seringkali banyak hal baik yang sebaiknya kita jemput, bukan sekadar menunggu. Seperti halnya hidayah, kebanyakan orang berpikir untuk "menunggu" hidayah. Padahal menurutku hidayah itu dijemput dan dicari, bukan sekadar menunggu hadirnya. Kedua, aku jadi teringat materi yang pernah disampaikan ketika kuliah yaitu sehebat apapun teknologi, tenaga manusia tetap dibutuhkan. Namun, manusia tetap harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Ketiga, tentang pelayanan. Di media sosialnya Gramedia dan sang ekspedisi banyak sekali konsumen yang mengeluhkan tentang keterlambatan barang yang mereka pesan. Bahkan nomor resinya pun belum mereka dapat. Sebagai konsumen, aku pun merasa kesal karena hal tersebut. Namun, jika dilihat dari sisi Gramedia dan sang ekspedisi, aku memaklumi keterlambatan tersebut. Banyaknya buku yang dipesan mungkin kurang sebanding dengan tenaga yang mengurusnya, hingga mereka kewalahan dan memerlukan waktu yang lama. Aku jadi teringat akan obrolan dengan Bu Bos, beberapa kali beliau mengatakan--bahkan menekankan--bahwa perusahaan jasa (dan dagang juga) itu yang dijual pelayanannya. Seburuk dan seberantakan apapun kondisi internalnya, perusahaan tetap harus memberikan pelayanan yang terbaik untuk konsumennya. Jika masalah internal perusahaan terbawa ketika memberi pelayanan ke konsumen, tentu akan berdampak buruk. Sebab sebagian besar konsumen jarang yang peduli akan masalah-masalah yang ada di internal perusahaan. Mereka hanya tahu dan hanya mau tahu kalau mereka akan mendapatkan pelayanan yang baik.
Ah, dunia kerja memang sangat berbeda dengan dunia kuliah. Namun, dari situlah aku belajar untuk tidak sekadar memandang diri sebagai sang konsumen, tapi juga sang perusahaan.
Udah kerja di mana kah sekarang, Ri? ☺️
ReplyDeletenama tempatnya Rumah BaCa, Ma
Delete