Membicarakan Kehidupan Pasca Kampus
Hari ke #157
Topik pembicaraan "setelah lulus mau ngapain?" agaknya menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan di kalangan mahasiswa semester akhir. Padahal, seharusnya sudah terpikirkan sejak awal menjadi mahasiswa. Namun, terkadang tidak semua mahasiswa merencanakannya dengan baik--termasuk diri ini.
Pun jika merencanakannya, terkadang di tengah perjalanan akademisnya, rencana itu bisa terkikis oleh pemikiran kita sendiri yang telah berubah. Terlebih ketika telah lulus dan memasuki tahap "pasca kampus", rencana kita terkadang tidak sesuai dengan realitas yang ada. Tidak semua yang kita rencanakan berjalan dengan begitu mulus.
Apalagi ketika resmi menyandang status "alumnus" dan memasuki tahap pasca kampus, semua hal tersebut terasa benar adanya. Terkadang terjadi kebingungan dengan rencana yang akan diwujudkannya. Biasanya berkutat pada tiga hal, yaitu kerja, lanjut studi, atau menikah. Namun, "kajian sore" tadi saat buka bersama yang diisi oleh seorang senior di Psikologi, agaknya membuka pikiranku yang lain, yang sering terlupa ketika sudah tidak diberi amanah, yaitu berdakwah.
Sang senior menyampaikan kondisi para aktivis dakwah yang semangat dakwahnya luntur setelah lulus kuliah. Bahkan luntur pasca tidak ada amanah di lembaganya. Padahal sebenarnya dakwah kampus itu sebagai tempat pembinaan untuk nantinya berdakwah di masyarakat. Satu kalimat yang menarik dari sang senior yaitu "kesalahan terbesar kita adalah menggantungkan dakwah kepada lembaga." Sehingga ketika tidak ada amanah lagi di lembaga seakan gugur kewajibannya untuk berdakwah. Padahal, dai sejati bisa berdakwah di manapun, sekalipun tempat tersebut seakan tidak mungkin untuk dijadikan ladang dakwah.
Hal menarik lainnya dari buka bersama tadi yaitu ketika kami menuliskan tiga kata yang terlintas ketika mendengar frasa "pasca kampus" dalam secarik kertas lipat dan mengumpulkannya. Setelah itu, kami mengambil secarik kertas lipat yang bukan milik kita. Dan aku mendapatkan kata "punya anak, lanjut S2 beasiswa, bisnis+social". Aku membatin, "kok bisa mirip sama rencanaku?".
Kata pertama, "punya anak", yang tentunya berkaitan erat dengan menikah. Sepertinya hampir setiap mahasiswa akhir akan menuliskan "menikah" dalam daftar rencana hidupnya. Begitupun aku. Selanjutnya kata kedua dan ketiga yaitu "lanjut S2 beasiswa dan bisnis+social". Sekitar setahun lalu, aku pernah memiliki rencana untuk membuka usaha warung makan. Sebab mengingat diri ini--setahun yang lalu--sangat sensitif terhadap makanan. Makan makanan yang sedikit berlada, si lambung begitu reaktif. Namun, setelah lulus dan kerja menjadi pustakawan, rencana membuka usaha itu terasa kian memudar.
Sebaliknya, keinginan untuk melanjutkan studi S2 profesi semakin menguat. Terlebih ketika Februari lalu UI membuka pendaftaran. Sayang, sepertinya belum berjodoh dengan jas kuning bermakara biru muda, langkah ini terhenti di tahap kedua. Akan tetapi, dari situ aku memetik hikmah untuk lebih mempersiapkan segala sesuatu. Menyiapkan mental, menambah ilmu, dan yang terpenting rajin mencari+meraih beasiswa. Sebab biaya S2 sangatlah tidak murah. Pun dengan atmosfer kehidupan S2 yang berbeda jauh dengan kehidupan S1/D3/D4. Sehingga perlu persiapan yang lebih matang.
No comments: