Tentang Pemilihan Kepala Daerah 2018
Hari ke #178
Baru dua hari lalu kembali ke Jogja, pagi tadi aku kembali pulang. Saat tiba di stasiun, tidak sengaja bertemu seorang kawan yang juga pulang demi pemilihan kepala daerah (pilkada). Aku jadi menerka, jangan-jangan yang pulang hari ini memang pulang demi menunaikan hak pilihnya.
Kalau kata Raditya Dika dalam videonya bersama Najwa Shihab, sebagai pemilih muda itu harus cerdas, tinggal boleh asal pilih. Jadilah aku mencari informasi tentang calon bupati dan calon gubernur yang nantinya akan kupilih. Sebab, aku belum tahu pasti tentang mereka--terlebih visi dan misi calon bupati tempat tinggalku. Setelah membaca-baca, akhirnya terpilih satu nama untuk calon bupati, satu untuk calon gubernur.
Hal yang menarik sebenarnya ketika siang tadi aku dan ibu menaiki ojek (mobil) daring. Sang driver membuka percakapan dengan topik pilkada. Dia mengatakan kalau pilkada sekarang lebih tenang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dalam artian, tidak ada "serangan fajar". Bahkan kampanye para calon--entah yang dimaksud sang driver itu calon bupati atau gubernur--tidak begitu terdengar gaungnya. Dari pendapat sang driver, aku menyimpulkan hal positif dan negatif tentang pilkada tahun ini. Positifnya, pilkada tahun ini tenang dan lancar, tidak ada kericuhan, apalagi "serangan fajar". Namun, negatifnya tentang "kampanye tenang" yang diucap sang driver. Kalau "tenang" yang sang driver itu tidak terdengar sama sekali tentang siapa calonnya, apalagi visi misinya. Jika banyak pemilih beranggapan demikian, maka bisa jadi mereka asal memilih calon bupati. Pun bisa jadi karena kedua calon pernah dan/atau sedang menjabat sebagai bupati, para pemilih akan memilih bersadarkan hasil kinerjanya. Padahal bisa jadi visi misi yang sekarang kedua calon usung itu berbeda dengan sewaktu mereka menjabat.
Lepas dari itu, menurut banyak ulama, jangan marah jika "jagoan" kita kalah. Harus tetap mendoakan calon yang terpilih agar dapat memimpin dengan amanah.
Purwokerto, 27 Juni 2018
No comments: