Kematian: "To Allah We Belong, to Allah We Shall Return"
Hari ke #211
Sabtu kemarin, di tengah kebahagiaan yang kami rasakan, terselip kabar duka dari seorang tetangga. Rumah Beliau hanya berjarak beberapa langkah dari rumahku. Ketika Ibu memberitahuku tentang hal tersebut, rasanya "deg", kicep. Merasa sedih di tengah kebahagiaan yang kurasakan.
Meski setelahnya aku "seakan" lupa dengan kabar duka tersebut. Namun, di siang harinya, ketika keranda jenazah Beliau yang diiringi oleh para kerabat lewat di depan rumah, kedukaan itu kembali menjalar. Di satu sisi diri ini sedang "merayakan kebahagiaan", tetapi di sisi lain ada perasaan sedih--sekaligus takut.
Keesokannya di hari Minggu, ada satu lagi tetangga dekat rumah--beda RW--yang berpulang ke rumah-Nya. Lagi-lagi ada perasaan sedih sekaligus takut. Sedih karena aku sedang merasa bahagia di tengah tetangga yang sedang berduka. Pun takut jika musibah itu tertimpa padaku.
Seseorang berkata padaku bahwa seorang yang beriman seharusnya tidak boleh takut akan kematian. Pun seseorang tidak akan meninggal jika memang bukan ajalnya datang. Namun, dua peristiwa kematian tetangga tersebut lagi-lagi mengingatkanku bahwa kematian itu begitu dekat dengan kita. Bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri. Sekaligus mengingatkan padaku bahwa setiap kebahagiaan selalu diiringi kesedihan yang sewaktu-waktu akan datang. Terlebih kematian, kita tidak pernah tahu dalam kondisi bagaimana dia datang. Pun tidak peduli apakah kita sedang sedih, marah, ataupun senang.
No comments: