Proposal Kehidupan Part 4
Hari ke #240
Hari ini pun datang. Tiba-tiba saja jantungku sudah mulai terasa berdegup kencang. Membuatku sulit terlelap tidur. Berkali-kali terbangun, tetapi jarum jam seakan enggan bergerak menuju pagi. Aku pun terpaksa terjaga hingga pagi tiba. Mematung di kasur. Bahkan gerhana bulan tidak menggugah rasa penasaranku untuk keluar rumah.
***
Debaran jantung ini semakin kencang terasa kala sang tukang rias sudah datang ke rumah. Bagian yang jarang sekali kulakukan pun terjadi. Wajahku dirias sedemikian rupa.
Sekitar pukul 08.30, Mas dan keluarga mulai memasuki tempat acara. Sementara aku, menunggu dengan tidak keruan di ruang tamu. Tinggal belasan menit lagi menuju akad. Jantung berdebam, perasaan tidak percaya, sekaligus perasaan senang pun berpadu. Ragaku terasa begitu kala sang pembawa acara mulai menyapa tamu undangan. Satu demi satu acara berlangsung hikmat. Menjelang akad, aku ditemani sang tukang rias beranjak menuju tempat acara. Kemudian kami merangsek di antara tamu undangan.
Debaran jantung ini semakin kencang terasa kala sang tukang rias sudah datang ke rumah. Bagian yang jarang sekali kulakukan pun terjadi. Wajahku dirias sedemikian rupa.
Sekitar pukul 08.30, Mas dan keluarga mulai memasuki tempat acara. Sementara aku, menunggu dengan tidak keruan di ruang tamu. Tinggal belasan menit lagi menuju akad. Jantung berdebam, perasaan tidak percaya, sekaligus perasaan senang pun berpadu. Ragaku terasa begitu kala sang pembawa acara mulai menyapa tamu undangan. Satu demi satu acara berlangsung hikmat. Menjelang akad, aku ditemani sang tukang rias beranjak menuju tempat acara. Kemudian kami merangsek di antara tamu undangan.
Ketika ijab akan terucap, seluruh raga ini tidak keruan. Aku mencoba merapal doa untuk mengusir ketakutanku. Terlebih takut Mas salah mengucap namaku yang seringkali sulit terucap. Namun, mendengar akad terucap dengan baik, seketika muncul kelegaan dari dalam diri. Namaku pun terpanggil. Sedikit tertatih karena harus menyesuaikan diri dengan sepatu yang kugunakan, aku pun melangkah menuju tempat Mas mengucap ijab-kabul. Aku merasa begitu canggung ketika untuk pertama kalinya kami duduk bersebelahan yang seakan tak berjarak. Pun ketika penghulu memintaku menggenggam dan mencium tangan kanannya Mas. Rasanya ingin kabur dari situ.
***
28 Agustus 2018
Selang sebulan berjalan, kecanggungan itu perlahan menghilang. Apalagi mengingat perilaku Mas yang super duper jahil. Sudah mulai saling mengenal dan akan selalu berusaha untuk saling mengenal. Pun harus menerima sifat dan perilakunya yang mungkin akan membuat kita tersinggung. Memang benar apa yang dikatakan murobbiku bahwa kalau sudah menikah itu harus memiliki stok maaf yang banyak. Pun harus berlomba untuk memberi maaf jika berbuat salah.
Selang sebulan berjalan, mungkin harus kuucap, "I am really lucky to have you." Mengingat betapa hati ini mudah terbolak-balik, terombang-ambing oleh perasaan. Dan sekarang kapal ini telah memiliki nahkodanya, yang akan membawa kami menuju destinasi terbaik. Mengarungi lautan, menaklukkan gelombang. Berbekal sedikit ilmu yang harus kami cari dan iman yang terus kami perbaiki.
No comments: