Sore di Goa Selarong
Hari ke #321
Kemarin sore, tiba-tiba Mas mengajakku ke suatu tempat. Ketika kutanya "ke mana?", Mas tidak menjawabnya. Di perjalanan, ketika kutanyakan kembali, Mas menjawab kalau kami akan ke Museum Diponegoro. Namun, jalan yang kami lalui bukan ke arah Museum Diponegoro, tetapi ke arah selatan. Motor pun terus melaju tanpa kutahu akan ke mana. Hingga, tiba-tiba kulihat plang petunjuk jalan yang bertuliskan "Goa Selarong" ke arah barat. "Oh, ke Goa Selarong ya?" tanyaku penuh kemenangan kepada Mas. Mas hanya menjawab dengan tertawa. Mungkin karena rencananya terkuak.
Di perjalanan, aku sebenarnya agak sangsi kalau Goa Selarong masih buka. Sesampainya di sana, ternyata masih banyak kendaraan wisatawan yang parkir. Sepanjang jalan setapak menuju Goa Selarong, terasa begitu sepi. Malah kami disambut oleh tukang-tukang yang sedang memperbaiki jalan. Pun ada juga beberapa penjual yang menjajakan makanannya. Meski terbilang sepuh, mereka masih terlihat semangat untuk menjual dagangan mereka.
Ketika melihat jalan menuju goa, aku terdiam sejenak. Ternyata kami harus menaiki belasan anak tangga. Aku menelan ludah, apakah kuat menaikinya. Dan baru beberapa anak tangga kutapaki rasanya sudah begitu lelah. Melihat itu, Mas pun mewanti-wantiku untuk menapaki satu per satu anak tangga saja. Sesampainya di atas rasa, kami pun melepas rasa lelah. Berfoto, menyantap jagung-susu-keju dan roti bakar, dan meneguk air minum. Sebelum datang ke Goa Selarong, kupikir bentuknya seperti Goa Jatijajar yang dapat kami masuki. Ternyata tidak.
Goa Selarong terbagi dua sisi, di sisi utara ada goa kakung, di sisi selatan ada goa putri. Lebih utara lagi pengunjung dapat melihat air terjun. Sayangnya, kemarin airnya kering. Pun lebih ke selatan goa putri hanya jalan buntu. Sepertinya dulu dapat dilewati, tetapi karena ada longsor jadi jalannya tertutup. Namun, hal menarik di Goa Selarong yaitu papan bertuliskan sejarah goa tersebut. Jika membacanya, pengunjung akan merasa ter-recall tentang pelajaran sejarah. Bahwa goa tersebut pada masa penjajahan Belanda tahun 1825-1830 menjadi markas Pangeran Diponegoro beserta pasukannya untuk menyusun strategi. Sebab, rumah Pangeran Diponegoro yang berada di Tegalrejo diserbu dan dibakar oleh Belanda. Dalam melawan Belanda, pasukan Pangeran Diponegoro membawa semangat "sedumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati" atau "sejeri kepala, sejengkal tanah, dibela sampai mati."
Membaca itu dan menikmati suasana Goa Selarong aku jadi membayangkan semangat mereka dalam melawan Belanda. Berjalan jauh dari Tegalrejo menuju Selarong. Aku tidak membayangkan betapa melelahkannya hal tersebut. Dan se harusnya semangat tersebut dapat dibawa sampai sekarang. Apalagi di zaman sekarang, begitu mudah orang-orang tersulut karena perkara sepele sehingga "melawan" saudara sendiri.
No comments: