Sebuah Notula: Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Mencari Ilmu
Hari ke #355
Ada sebuah ungkapan yang pernah kudengar bahwa seharusnya ilmu itu meningkatkan keimanan kita kepada Allah. Ungkapan tersebut seperti dijelaskan lebih mendalam oleh Ustadz Sholihun di kajiannya @perpustakaanbaitulhikmah sekitar sepekan yang lalu. Dalam kajian tersebut Beliau membedah buku Ta'lim Muta'alim yang membahas tentang adab dan ilmu.
Setiap manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu, bukan hanya ilmu umum, tetapi juga ilmu agama. Mempelajari ilmu agama berfungsi untuk menjaga serta membuat diri kita yakin bahwa segala yang dilakukan akan dihisab. Selain itu, dengan ilmu agama juga membuat kita melakukan sesuatu untuk mencari keberkahan. Salah satu ilmu agama yang menjadi prioritas untuk dipelajari yaitu ilmu tauhid. Ilmu tersebut berhubungan dengan mengenal Allah dan memahamkan diri kita terhadap Allah.
Dalam mencari ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu agama, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, urgensi ilmu yang akan kita pelajari. Apakah ilmu tersebut dibutuhkan dalam urusan agama, dibutuhkan di masa sekarang (duniawi), atau dibutuhkan di masa akan datang (akhirat). Kedua, tujuan kita mencari ilmu tersebut.
Sebelum mencari ilmu, kita sudah lebih dulu memahami bahwa ilmu yang akan kita cari bukan bertujuan untuk mengalahkan orang lain, gaya-gayaan, atau memunculkan perselihisan. Namun, yang perlu kita yakini adalah ilmu yang akan kita cari bertujuan untuk mencapai ridho Allah. Dengan demikian, sebisa mungkin kita hindari perdebatan. Jika sudah terlanjur, segera tinggalkan perdebatan. Sebab, perdebatan dapat mengeraskan hati pun dapat menimbulkan permusuhan.
Selain ilmu apa yang akan kita pelajari, kita juga perlu cermat dalam memilih guru. Ada beberapa kriteria yang harus kita lihat dalam memilih guru, memiliki kapasitas akan ilmu yang ingin kita pelajari, akhlak atau wara' (menjaga diri dari sesuatu yang tidak jelas), serta lebih senior atau sepuh (biasanya mereka cenderung lebih memiliki pengalaman banyak dan memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri). Dalam memilih guru ini, Abu Hanifah pun pernah melakukannya. Setelah melakukan pertimbangan dan perenungan, Beliau memilih Imam Hammad bin Abi Sulaiman sebagai gurunya. Sebab, Imam Hammad bin Abi Sulaiman memiliki budi pekerti yang luhur sehingga dapat belajar dari akhlaknya, serta sangat santun dan penyabar dalam segala urusan.
Dalam memilih guru dan ilmu tersebut, harus melalui musyawarah dengan orang terdekat, seperti orang tua. Mereka pun menjadi paham apa yang diinginkan oleh anaknya, pun mereka dapat memberikan pandangan mengenai baik buruknya ilmu yang akan kita pelajari tersebut. Sebab, seringkali orang tua ingin anaknya kuliah atau mengambil studi tertentu, sementara anak memiliki pilihan tersendiri ilmu yang dipelajari. Tidak adanya musyawarah membuat anak maupun orang tua sering berselisih. Padahal musyawarah dapat membuat kita lapang dada, pun tidak mengutamakan ego. Pun ketika bermusyawarah untuk memilih guru, bermanfaat untuk meminimalisasi buruk sangka kepada guru.
Dari apa yang disampaikan oleh Ustadz Sholihun aku jadi ingat bahwa dulu sempat beda pendapat dengan orang tua terkait jurusan dan kampus yang akan kupilih. Aku baru menyadari bahwa seharusnya memang perlu ada musyawarah terkait hal tersebut. Selain itu, aku jadi berpikir ulang tentang rencana untuk kuliah lagi. Apakah ilmu itu dibutuhkan dalam agama, dibutuhkan di dunia, atau dibutuhkan di akhirat? Apakah aku kuliah lagi memang untuk mendapat ridha dan keberkahan-Nya atau sekadar gaya-gayaan?
No comments: