Makan untuk Umar
"Makan yang banyak ya," adalah sebuah kalimat yang sering diulang oleh orang tua maupun mertua. Terlebih ketika melihat Umar semakin bertumbuh. Kalimat itu jugalah yang sering menyadarkanku bahwa keadaan saat ini berbeda dengan yang dulu.
Sebelum menikah, apalagi ketika mahasiswa, aktivitas "makan" itu seringkali kuabaikan. Berdalih tugas, seringkali aku telat makan. Sekalipun makan, tetapi yang kumakan tidaklah selalu bergizi. Sebab, saat itu yang terpenting adalah murah, banyak, enak, dan mengenyangkan. Urusan sehat atau tidak dinomorsekiankan. Sebab, makan itu untuk diri sendiri. Padahal setelah mengikuti kajian tentang persalinan, aku baru tahu kalau menyiapkan kehamilan itu dimulai sebelum kita menikah. Salah satu caranya dengan menjaga makanan.
Pemikiran itu seketika berubah ketika aku hamil dan sekarang mengASIhi. Ketika 41 pekan hamil, aku begitu menjaga makananku. Tujuannya tidak lain karena ingin janinku tumbuh dengan sehat sehingga lahir dengan sehat wal afiat. Aku menghindari makanan pedas yang berlebihan, mengurangi makan mie dan keluarga micin. Pun merutinkan untuk makan kurma. Perihal kurma, syukurnya Mas begitu mendukung. Bahkan ketika persalinan, Mas rela membuatkan nabeez, semacam "infused water" menggunakan kurma.
Setelah ada Umar, semakin kusadari bahwa kebutuhan makan+minumku semakin bertambah. Dua pekan awal pasca persalinan, berat badanku yang semasa hamil bertambah 17 kg, malah perlahan menurun. Bahkan ketika sedang kontrol perban, tekanan darahku begitu rendah. Sejenak kuberpikir, apa yang menyebabkan demikian. Dan kutahu penyebabnya karena mengASIhi. Sebab, mengASIhi itu begitu menguras energi. Terasa sekali lemasnya ketika belum makan+minum--apalagi jika tidak makan+minum. Bahkan sekali waktu aku merasa begitu haus, serasa dehidrasi ketika mengASIhi Umar tapi tidak kuimbangi dengan minum banyak.
Hampir empat bulan berjalan, kutahu kalau sekarang "makanku" tidak lagi hanya untukku, tetapi juga untuk Umar. Apa yang kumakan secara tidak langsung akan "dimakan" oleh Umar melalui ASI. Pun, setelah hampir empat bulan mengASIhi, kutahu betapa rasanya berjuang untuk dapat mengASIhi. Mungkin itulah mengapa seorang anak harus lebih dulu berbakti kepada ibunya, baru ayahnya. Sebab, mengASIhi bukan sekadar memberikan hak anak, tetapi juga menjalankan perintah-Nya untuk mengASIhi selama dua tahun. Kalau tidak ingat perintah itu, mungkin aku akan menyerah begitu saja dan membiarkan diriku kelaparan.
No comments: