Semakin Besar Anak, Semakin Besar Tanggung Jawab Orang Tua
Sewaktu Umar sedang belajar tengkurap saat masih newborn (baru lahir), sempat berpikir, "enak ya kalau Umar udah bisa tengkurap." Setelah bisa dan lancar, ternyata membuatku takut sekaligus khawatir kalau tiba-tiba Umar tidur tengkurap dan mengalami SIDS (Sudden Infant Death Syndrome). Apalagi beberapa pekan sebelumnya kutonton sebuah video seorang YouTuber yang anaknya meninggal karena SIDS.
Setelah bisa tengkurap, rasanya ingin Umar segera bisa guling-guling. Saat bisa dan lancar, ternyata guling-gulingnya Umar sampai melewati pinggir kasur. Hingga terjatuh, entah sudah berapa kali.
Setelah sudah bisa guling-guling, sempat berpikir, "kayaknya enak kalau Umar sudah bisa duduk, merangkak, berdiri, tidak perlu lelah menggendong terus." Ketika sudah bisa itu semua, ternyata ketakutanku semakin bertambah, menyaingi rasa syukurku. Takut-takut kalau jatuh ke kasur atau lantai. Takut-takut kalau Umar pegang colokan, kipas angin, laptop, dan lainnya.
Ternyata, semakin banyak perkembangan yang dialami anak kita, semakin besar rasa khawatir kita. Pengawasan pun ternyata harus semakin diperketat. Bukan malah semakin membuat kita bersantai ria seakan lepas dari tanggung jawab.
Aku jadi teringat akan sebuah postingan yang kulihat beberapa hari lalu ketika sang ayah merasa senang ketika masuk SD sehingga berpikir bisa santai sejenak. Lalu diingatkan oleh sang istri kalau masa itu justru seharusnya dipakai untuk mempersiapkan anak menuju aqil baligh. Sang suami menjawab, "lalu kapan kita santainya?"
Membaca itu aku jadi tersadar bahwa semakin besar bilangan usia anak, semakin terlewati tahap perkembangannya, ternyata tidak meringankan tanggung jawab kita. Sebaliknya, justru tanggung jawab kita semakin besar. Sebab, merawat dan mengasuh anak bukan sekadar memberikan hak anak secara materi, melainkan mempersiapkan segala sesuatunya dengan bekal agama.
No comments: