Bagaimana Membangun Keluarga Qurani?
Seperti muslim lainnya, aku dan Abatinya Umar pun ingin menjadikan keluarga kami sebagai keluarga yang islami, beradab, dan qurani. Alhamdulillah, tema @mommischology bulan ini sangatlah related dengan visi kami tersebut, yaitu "Light Up Our Family with Quran". Dan pagi tadi kami mengikuti sesi pertama tentang "membangun keluarga qurani" bersama mba @tikafaiza dan sang suami.
Mba Iza mengawali sesi pertama Arisan Ilmu #5 tadi dengan membahas tentang manusia. Mulai dari membahas komponen hingga hakikat manusia. Dari situ, aku diingatkan kembali bahwa sekuat-kuatnya manusia, kita itu makhluk yang lemah, termasuk pasangan kita. Kita tidak boleh menggantungkan harapan kepada pasangan karena nantinya hanya akan timbul kekecewaan. Maka, kita dan pasangan harus sama-sama menggantungkan harapan hanya kepada Allah. Selain itu, kita tidak boleh sedih jika kita tidak berasal dari keluarga yang kaya atau berada. Namun, sedihlah jika kita bukan bagian dari keluarganya Allah. Indikator kita termasuk keluarganya Allah dilihat dari apakah kita termasuk ahlul Quran atau bukan, dekat dengan Alquran atau tidak.
Lalu bagaimana cara membangun keluarga qurani? Mas Satria menjelaskan bahwa membangun keluarga qurani dimulai dari sebelum kita menikah dengan pasangan. Seperti menundukkan pandangan, menjauhi zina, mempersiapkan ilmu, menjaga makanan, dan memilih pasangan. Kemudian setelah menikah kita dan pasangan bisa menjadi wadah ta'awun, melakukan ahsanu 'amala, dan menjadi madrasah bagi anak-anak. Setidaknya ada delapan cara dalam membangun keluarga qurani, yaitu memulai dari diri sendiri untuk dekat dengan Alquran, memperdengarkan Alquran sejak anak masih dalam rahim, menanamkan iman dan makrifatullah dengan tadabbur alam, berhalaqah dengan keluarga, menyusui sambil tilawah/murojaah/shalawat, menstimulus dengan berbagai cerita dalam Alquran, mengajak ke majelis ilmu, serta melibatkan Allah dalam setiap ikhtiar yang kita lakukan.
Sesi pertama tadi membuatku berkaca tentang kondisi keluarga kecil kami. Apakah kami sudah menjadi bagian "ahlul quran"? Atau setidaknya mendekati seperti itu? Ada sebuah kalimat di presentasi mba Iza yang begitu mengena sekaligus pengingat diri: " jika bersama Alquran adalah kebahagiaan, betapa indahnya jika kebahagiaan ini dibawa pada aspek kehidupan kita. Terlebih, pada pilar utama sebuah peradaban dan bangsa, yaitu keluarga."
Jazakunallah khairan @mommischology untuk Arisan Ilmu #5-nya. Jazakumullah khairan untuk mba Iza, mas Satria, dan Hakeema untuk ilmunya yang menjadi pengingat diri ini. Barakallahu fiikum.
No comments: