Belajar Istikamah dari Summayah Ummu Ammar bin Yasir
"Tidak ada yang lebih tinggi daripada keimanan, tidak ada yang lebih mahal daripada keimanan. Bahkan sekalipun bayaran terhadap keimanan itu nyawa. Dan tidak ada lafaz yang terucap selain 'ahadun ahad'."-Ustadzah Amaliyah Krizna Waty
Sabtu kemarin, aku sempat mengikuti The Lost History Series-nya Hijratunna yang membahas tentang Summayah Ummu Ammar bin Yasir. Meski pernah mendengar namanya, tetapi aku baru tahu kisah hidupnya. Ketika mendengarkan kisah hidupnya, aku merasa sedih sekaligus malu. Betapa ujian yang selama ini pernah atau sedang kulalui tidak sebanding dengan ujian yang dialaminya. Hal yang membuatku salut, meski ujian yang menimpanya begitu berat, tetapi dia tidak menyerah dan terus mempertahankan keimanannya.
Summayah Ummu Ammar bin Yasir atau Summayah binti Khayyat adalah seorang budak dari Abu Hudzaifah yang menjadi bagian dari Bani Makhzum. Abu Hudzaifah memiliki seorang rekan bernama Yasir yang berasal dari Yaman. Sebenarnya Yasir pergi ke Mekah bersama dua saudaranya untuk mencari saudara mereka yang hilang. Sayangnya, mereka tidak menemukannya. Dua saudara Yasir pun kembali ke Yaman, sementara dia tetap tinggal di Mekah. Selama tinggal di Mekah, Yasir mengikat perjanjian dengan Abu Hudzaifah sehingga mendapatkan jaminan perlindungan.
Abu Hudzaifah melihat Yasir dan Summayah sebagai sosok yang baik sehingga dia pun memutuskan untuk menikahkan keduanya. Dari pernikahan Yasir dan Summayah, lahirlah Ammar dan Ubaidullah. Namun, melalui Ammar lah, Yasir dan Summayah memeluk Islam. Sebab, Ammar tahu bahwa ada agama baru bernama Islam dan yang membawakan adalah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Ammar pun mencari tahu hingga dia mendapatkan risalah agung lalu disampaikan kepada keluarganya. Akhirnya, mereka pun menjadi golongan assabiqunal awwalun atau generasi pertama yang memeluk Islam.
Semenjak hijrah dan memeluk Islam, Summayah dan keluarganya kedudukannya menjadi tinggi di hadapan Allah dan Islam. Sebab, tidak ada penggolongan berdasarkan warna kulit dan pekerjaan. Selain mendapatkan kebahagiaan, mereka pun mendapat berbagai tantangan yang menguji keistikamahan dalam memeluk Islam. Ada berbagai siksaan yang mereka alami dan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali serta dilakukan dengan berbagai cara. Seperti diseret di atas padang pasir dan ditimpakan batu besar di atas dada. Serta dipakaikan baju besi dan dibiarkan di bawah panas, dicela dengan umpatan kasar, dan ditusuk dengan tombak. Meski begitu mereka tetap bertekad kuat untuk mempertahankan keislamanan dan keimanan. Bahkan Summayah meneriakkan "ahadun ahad" ketika mendapatkan siksaan itu.
Dari Summayah Ummu Ammar bin Yasir, kita dapat meneladan dua peran sentral muslimah, yaitu sebagai individu (hamba Allah, anak, istri, ibu) dan sebagai anggota masyarakat. Sebagai hamba Allah, seorang muslimah harus taat dan tunduk kepada-Nya. Sebagai istri, seorang muslimah memiliki peran pengurus rumah tangga. Sebagai ibu, seorang muslimah memiliki peran madrasah pertama anak-anak. Peran inilah yang juga disebut sebagai peran politis karena mendidik anak merupakan peran strategis dalam mendesain generasi yang akan membentuk peradaban. Langkah awal dalam mendidik anak bukan dimulai ketika anak masih dalam kandungan, apalagi ketika sudah berusia 2 tahun, tetapi mendidik anak dimulai dari memilih siapa ibunya. Lalu sebagai anggota masyarakat, seorang muslimah peran sebagai pengemban dakwah.
Kalau dulu Summayah Ummu Ammar bin Yasir mendapat ujian yang menyerang fisik, ujian muslimin dan muslimah saat ini berupa pemikiran. Seperti sekulerisme, pluralisme, feminisme, liberalisme, permisifme, dan kapitalisme. Tujuan -isme tersebut yaitu menjauhkan kita dari akidah Islam dan fitrah kita sebagai muslimah yang menjadi arsitek peradaban. Ada ungkapan yang mengatakan jika ingin merusak peradaban, maka rusaklah perempuan. Sebab, kalau yang dirusak laki-laki, yang rusak laki-lakinya saja. Sementara kalau yang dirusak perempuan, maka yang rusak perempuan itu sendiri, anaknya, dan suaminya.
No comments: